01 September 2009

Foto Teman-Teman Kriya ISI Denpasar "Antonius Dayak, Dewa Bajra, Nengah Muliadi, Lilo Kocak, Koming Saolin"










Angkatan-angkatan seniman muda..yang berasal dari ruang fana, datang mengais-ngais seperti anjing lapar..dalam mencari sesuap Kreativitas di Institut Seni indonesia Denpasar.
Ibarat ilalang yang sudah menjadi tebu..tapi belum menghasilkan kristal-kristal gula yang nikmat, buat bahagiakan dan sahajakan Sang Istri tercinta..haha..

26 Agustus 2009

Kriya Akademis Kurang berkembang di Masyarakat


Sifat umum Kriya Akademis biasanya mempunyai nafas kontemporer. Kesan Abstrak yang biasanya susah dipahami apabila Masyarakat yang memang tak memiliki pengetahuan apa-apa tentang bagaimana mengapresiasikan sebuah karya seni, apalagi membaca karya kriya.
Mengingat tingkat Apresiasi Masyarakat yang terasa kurang itu,maka jelas saja karya kriya akademis yang demikian itu terasa kurang diminati.
Justru sebaliknya, apresiasi masyarakat terasa lebih terbuka dengan Kekriyaan yang sudah hidup dan berkembang dihadapannya, yang memang terlahir bukan dari tempaan Akademis, seperti jenis ukiran-ukiran tradisi, dll.

Dengan membaca keinginan Masyarakat yang demikian itu , otomatis para jebolan kriya akan dengan sendirinya mengikuti kemauan masyarakat, yang memang keampuhan karya-karyanya dapat menembus pasaran atau menguasai pasar.

Ataupun Mahasiswa kriya yang sudah menyelesaikan tingkat pendidikannya, akan lebih memilih pada bidang pekerjaan yang lain semisal menjadi tenaga pengajar, atau ingin dipekerjakan pada bidang Kebudayaan, Pariwisata ketimbang menjadi seniman kriya sejati.

Dan yang terakhir adalah, adanya keengganan Mahasiswa kriya untuk berkarya yang disebabkan oleh kurangnya persediaan dana atau tidak adanya lembaga-lembaga yang mewadahi dalam mengembangkan keilmuan yang telah didapatkannya diperguruan tinggi.

21 Agustus 2009

Warna-Warni di Almamater Institut Seni Indonesia Denpasar (Sebuah Nostalgia)


"Kota yang berwangi dupa" begitulah kira-kira pengalaman pertamaku ketika menginjakan telapak kaki dikotanya para Dewa ini..yach,semacam aroma yang begitu mistis menyelimuti penciumanku. Itu beda dengan bau rumput, istilah sabana tanpa oase diTimur dari Negeri ini. Dan tujuanku untuk datang dipulau yang indah ini cuma satu, yaitu mencari air seni, sebuah air yang bukan berasal dari kantung kemihku sendiri, tetapi airnya seni dari sekelumit goresan kreativitas yang mungkin bisa memberikanku kepuasan sedikit saja. Dan lewat berbagai birokrasi yang sudah menjadi cara kerja disetiap Institusi di Negeri ini, akupun hidup dan mulai mendewasakan diri di kampus tercintaku yang pada saat itu masih bersetatus sebagai Sekolah Tinggi Seni..aku tertantang untuk maju..ah!! mudah saja pikirku.

Kian hari,kian waktu..seiring berjalannya menit detik bertalu, aku semakin sadar bahwa jalan yang aku lalui ini begitu berat. Jujur..aku bukan tercipta dari kamar-kamar kotamu..aku terbentuk bukan dari gapaian asmara tulang belulangmu..dan aku adalah embun tanah gersang yang diam diNegeri ini pada pengasingan sebuah cita-cita.
Ada semacam rasa yang mengalun ketika aku harus bersaing dengan teman-teman dari tanah ini , yang begitu fasih memainkan ekspresinya..ada semacam perasaan rendah diri ketika memandang pada puncak cita-citaku. Akhirnya aku dididik menjadi liar, meskipun tak sempat menjadi liarrr..hehe..liar dengan diriku dalam menjelajahi rasa seniku.
Dan setiap saat, ibarat seorang penabuh yang menabuhi gamelannya, akupun memercikan dentangan nada sejuta warna..akupun mulai menekuni pahat-pahatku yang belum menjadi apa-apa..yach, ibarat sebuah papan, sebuah batu, yang belum menjadi puncak sebuah mehru. Ketika aku mulai dihadapkan pada orang-orang yang mencintai ke egoan seni, pasti ada yang nyeletuk, "karya apa nee??"..atau "apa yang kau buat Ri??" kata-kata nyelidik, sinis seperti ujung bedil yang menunjuk-nunjuk mata bathinku..yach, kira-kira begitu.Pada hal seharusnya seni dapat memperhalus budi..memperhalus rasa, tetapi kenyataannya?? Begitu keraskah keegoan seni yang aku hadapi dari orang-orang disekitarku, sepertinya karyaku ingin diludahi, dinjak-injak seperti sampah.
"Aku hanyalah aku, ibarat ilalang yang belum menjadi tebu"..jawabku.

Oh yach, ingatanku pada sahabatku si Anton Dayak, yang senasip, seperjuangan yang berasal dari dunia fana, yang datang mengais-ngais seperti anjing lapar dikota ini dalam mencari sesuap kreativitas. Gara-gara gak kuat menabuh pahat dia harus cabut, lalu nyungsep kepengkajian. Si Anton tuh orangnya sedikit pelit, kadang juga kelewat toleran..begitulah kira-kira jawaban dari sebagian sahabat-sahabatku dalam menilai orang yang satu ini.. maap Ton, becanda..
Sebuah kisah yang dapat dicari akan pentingnya arti sebuah persahabatan, tapi itu tak penting Ton, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa meraih mimpi diatas sana, biar bisa bersalam-salam, senyum kanan-senyum kiri sambil menenteng ijazah dengan wajah sumringah karena bisa meraih sarjana. Pada hal dibelakang sono banyak nilai yang anjlok, ada juga yang ngatrol Ton..hehe..

"Ri..ngapain cepat-cepat tamat Ri??" nyelidik si Tuwong angkatan gila yang kelewat rasional dari Pojok Komunitas. "Ah..gak kayak lo, muter-muter melulu, ibarat pendaki yang muter-muter disekitar lereng gunung, yang gak bisa sampe kepuncak"..
"kan kaya pengalaman Ri, dari pada yu??"..tangkisnya.
Dan memang benar, hingga kini ia masih tersesat diseputaran gunung, kering..ibarat ilalang liar yang tumbuh dipunggung gunung..gunung lawu maksudnya..hehe..
Tapi aku salut..tak usah ditanya kalau ngomongin sepak terjang orang-orang ini yang merupakan binaan Komunitas Pojok yang terkenal dengan karya-karyanya yang liar, suka nyerempet-nyerempet bahaya istilahku. Yach, sekelumit dari si Tuwong, kadang suka nyentil, tapi juga nyentrik..kalau lagi ngerokok, piring makan sampe gelas kopi jadi asbak jahanamnya..haha..

Aku tidak surut aktifitasku, tiap pagi dan sore bergaya bak tukang bangunan, dari gergaji sampai pahat aku mulai menabuh. Ketika moodku mulai surut, tabuhanku mulai tak berarti lagi..dan aku terbangkan alat-alat perangku, kayu yang retak bukannya direkatkan lagi malah pecah berantakan..
"jangan ngamuk Ri" celoteh teman-teman sekostku. Sebagai pelampiasan aku cuek dengan ngurung diri, merajut benang-benang terkusutku, siapa tahu bisa menjadi barang antik yang bernilai biar bisa puaskan imajiku. Dan..ketika karya itu aku bawa dihadapan pengujiku, ada saja yang salah..tapi bagiku dalam menilai sebuah karya seni bukankah sangat relatif sifatnya??
Ah!! cuek saja..persetan dengan penilaianmu wahai penguasa. Sehingga dari semester nol sampai puncaknya cuma "B" melulu. Suatu angka yang tidak terlalu buruk untuk ku yang berasal dari dunia lain yang mengadu kreativitas di Institusi ini. Tapi ketika mulai diajak berpameran, aku cuman cengar-cengir melulu..jadi audiens ajah pikirku, sampai ada yang nyeletuk.."gimana mau jadi seniman kalau gak pernah berpameran??"
"malu, karya-karyaku jelek" bathinku penuh pesimis..

Dalam meniti proses, menjadikan ilalang sebagai tebu ada begitu banyak hal..dan segala hal..yang aku temui dipengasingan cita-citaku ini.
Kriya..yach, karya Kriya..begitu kusutkah Eksistensimu?? Mengapa dari luar terasa begitu manis, tetapi selalu sepat diisinya?? membingungkan memang..
Ketika dosen Suardana menjangkiti eksistensi kriya dengan nafas ekspresi, ternyata dosen Ketut Muka merasuki lagi dengan virus desain yang lebih kepada rasio-fungsional. Belum lagi ocehan yang datang dari teman-teman jurusan seni murni, "karya kriya gak bisa digolongkan dalam karya seni Ri..gantung ajah pahatmu..mulailah melukis"..
Duh..gejala apakah ini?? terkesan kacau, kusut..tapi tak sampai mematahkan semangat seangkatan seperjuangan termasuk aku. Smuanya seperti tertantang dan teruskan perjuangan ini.
Belum lagi seabrek pengalaman lain yang aku terima dari kriya yang aku geluti ini.." masa seh?? karya kriya seperti patung??..bukankah karya kriya wujudnya dua dimensi?? kog tiga seh??"
Mau tiga..empat..lima, dalam segala hal kalau ngomongin seni sudah gak ada batasannya kawan. Seni kriya bisa kepatung, kriya bisa kelukis..malah bisa ketari. Sedikit membual, mengutip pendapat para pakar seni yang selalu membahas seni diera Pasca Moderen ini yang lebih pada sebagai yang anti kemapanan..tangkisku berapi-api.

Mamang ruwet bagi masyarakat kriya seperti aku ini, yang selalu bingung dengan cita-citanya. Apalagi kata Pak Muka, dalam sebuah tulisan yang pernah dimuat dalam sebuah media, bahwa Mahasiswa Kriya yang sudah keluar dari lembaga ini terasa tidak berkembang dan berhenti begitu saja dalam berkarya..tidak berkembang dalam menerapkan keilmuannya yang telah didapat dari Institusi ini. Gimana bidang ini mau maju?? pungkasnya.
Tanggapanpun muncul seputar pernyataan Pak Muka tadi, seperti yang datang dari seorang Alumnus Kriya semisal Seriyoga Parta. Yogaparta pun memberikan semacam pengklaiman, bahwa maju dan mundurnya bidang ini adalah tidak lepas juga dari tanggung jawab kita bersama, dan justru seorang pendidiklah yang lebih bertanggung jawab dalam hal ini. Bukannya malah memberikan semacam asumsi yang malah makin menjatuhkan otoritas kriya ke dalam jurang keparahan. Yogapartapun kembali mempertanyakan lebih pada Kurikulum pengajaran Kriya di Institusi ini..yach,seperti ilalang yang belum menjadi tebu..aku salut ma Bung Yoga.

Larut dalam keilmuanku, sampai-sampai aku tak memikirkan keadaanku, bahwa sebenarnya jauh didalam sana aku mengidap sebuah penyakit..penyakit kronis yang menyerang kesehatan paru-paruku. Aku terkena Tuberculossis, istilah keren kedokteran atau sebagai TBC. Penyakit yang mematikan..disela-sela bibirku kadang aku berseru..atau teruskan pendidikan yang nelangsa ini??
Aku semakin tak berdaya, lalu diam..pulang pada tanah gersangku yang jauh berbatu-batu, menjadi embun tanah gersang yang kehilangan makna, dan diam setahun lamanya menunggu kesembuhanku.
Yach..Tuhan masih menolongku, Ia masih menghidupi aku lagi, "Trimakasih Bapa.." jeritku dengan tangan terbuka disetiap Doa-doaku.

Di akhir kesembuhanku,aku balik..kembali menaikan layar perjuangan dan bertolak menuju pulau cita-cita.
Kembali meniti tabuhanku dan mulai memahat lagi. Ada dosen Suparta yang selalu memberikan semangat, bagai setetes minyak yang menyalakan Dian, "tetap Optimis..jangan Pesimis, kamu pasti bisa"
Benar saja dan aku mulai kuatkan keberanian menuju akhir senja.
Disela-sela aktifitasku dalam menjunjung seni aku masih bisa menyaksikan spanduk Revolisi, bernyanyi dalam mendobrak kediktaktoran diInstitusi ini.
Yach..revolisi yang katanya berperan dalam mendobrak tirani itu?? tirani yang katanya telah kehilangan rasa itu?? rasa Demokrasi mungkin??
Ah!! aku tak mau terkena peluru nyasar, pikiranku hanya pada perjuangan yang tinggal selangkah itu.
Dan dengan suport yang datang dari dosen Suparta, akhirnya dihadapan para penguji, aku diadili dalam sidang sarjana.
Sungguh!! pengalaman yang mendebarkan..tapi keok juga setelah dibabat oleh dosen Suardina pada akhir ujian itu.."Saudara!! jujur, saya sama sekali belum sedikitpun membaca pertanggung jawaban karya yang saudara buat. Semua yang kita arahkan dalam bimbingan belum sedikitpun diikuti oleh saudara" dan masih ada satu, dua, tiga, empat, lima dan sepuluh hal lain yang dibrondong, ibarat rentetan tembakan senjata jenis kaliber..haha..dan seperti halilintar menyambar-nyambar pendengaranku. Aku keluar tertunduk lesu pada perut bumi, ada setetes duka menyumbat kepala. Sebegini burukah penilaian diakhir perjuanganku?? rintihku lirih..
Tapi tak apalah..aku tetap berterima kasih pada dosen yang satu ini, karena ada sejuta pengalaman yang dapat aku petik disetiap cambukannya yang keras.

Akhirnya kawan..aku dapat meraih impianku,bak seorang pragawan yang berjalan diatas cat-walk, aku resmi mendapat gelar kesarjanaanku. Akupun harus senyum sana-senyum sini..senyum yang dipolesi dengan sedikit kepalsuan ..hehe..salam sana-salam sini, dengan toga hitam yang dihiasi tali-temali seperti tali kompor..berayun-ayun seperti jam bandul zaman Rokoko yang telah dijamah Sang Rektor barusan.
...Yach, ibarat ilalang yang telah menjadi tebu, tapi belum menjadi kristal-kristal gula yang nikmat untuk hidupku kelak..haha lagi..

Salamku buat teman-temanku, alumnus angkatan 2002.
(The End)

10 Agustus 2009

Membaca Nilai-nilai Filosofis dari motif Karang Gajah

Didalam kamus Bali-Indonesia telah dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan Karang Gajah adalah ragam hias yang berbentuk (berpolakan) kepala gajah yang belalainya melengkung kebawah. Karang gajah disebut juga atau diistilahkan juga sebagai Karang Asti, tambahan lagi menurut pengertian ini Karang Asti adalah ragam hias yang berbentuk kepala gajah yang belalainya mencuat keatas. (Kamus Bali-Indonesia,1978;269). Walaupun mengandung pengertian yang agak berbeda, tetapi bentuk atau jenis kekarangan ini adalah gajah pada umumnya.

Motif hiasan ini biasanya terdapat atau diterapkan pada pojok bangunan sebagai hiasan pada bagian dasar bangunan yang sering kita temui dalam bangunan-bangunan berstail Bali.

Sedangkan menurut Nyoman Glebet dalam Arsitektur Tradisional Bali disebut pula Karang Gajah karena asti adalah gajah. Bentuknya mengambil bentuk gajah yang diabstrakan sesuai dengan seni hias yang diekspresikan dalam bentuk kekarangan. Karang Asti yang melukiskan kepala gajah dengan belalai dan taring gadingnya bermata bulat. Hiasan flora pada patra punggel melengkapi kearah sisi pipi Asti. Karang Asti ditempatkan sebagai hiasan pada sudut-sudut beraturan dibagian bawah pada sebuah bangunan. (Arsitektur Tradisional Bali, 2002;360)

Secara umum dalam penempatan ornamen Karang Gajah, biasanya ditempatkan pada begian bawah sebuah bangunan. Salah satu contoh bangunan yang biasa diberi dengan motif ornamen ini adalah tempat pemujaan atau bangunan pura hindu di Bali. Fisik bangunan tempat pemujaan terdiri dari bagian kepala, badan dan kaki dengan unsur-unsur ornamen antara lain; Karang asti pada bagian kaki/bawah, karang simbar dan karang bunga dibagian tengah, dan karang goak atau manuk (motif kepala gagak atau ayam) dibagian atas atau pada puncak bangunan. Dipilihnya Karang Gajah atau Asti yang ditempatkan pada bagian bawah dari sebuah bangunan, karena jenis binatang ini biasanya hidup ditanah. Didalam ilmu Zoologi binatang gajah adalah sisa binatang purba yang hampir berada diambang kepunahannya. Jenis binatang ini sering dipakai manusia dalam membantu usahanya, biasanya kekuatan fisik yang sering dipakai adalah untuk diandalkannya sebagai sarana transportasi, bahkan dibeberapa daerah tertentu masih mengandalkan jenis binatang ini sebagai tenaga untuk membuka hutan dalam membuat perladangan baru.

Dalam ilmu Arsitektur dijelaskan bahwa kekuatan atau kekokohan sebuah bangunan ditentukan pula sampai sejauh manakah kekuatan dasar atau fundamen yang dibangunnya, tentu kekuatan ini harus dibarengi pula dengan struktur fondasi yang kuat. Nenek moyang bangsa kita dalam melahirkan sebuah monumen pemujaan tentu memperhatikan betul keadaan ini dan hal ini pulalah yang melahirkan sistem Arsitektur tanah air kita yang terkenal kuat. Pengejawantahan dari hal ini secara otomatis melahirkan angan-angan atau pencitraan dari kekuatan alam lain yang bisa menolong kedaan rohaniahnya, sehingga munculah suatu kepercayaan bahwa semua alam, benda, termasuk binatang tertentu juga mempunyai kesaktian yang tinggi yang mampu melindungi keberadaan manusia, tempat tinggalnya termasuk bangunan-bangunannya. Jadi tidaklah mengherankan jika gajah atau jenis binatang ini diolah menjadi jenis kekarangan dan dipilih sebagai penghias dasar pada sebuah bangunan.

Maksud dipilihnya karang gajah sebagai hiasan pada bagian bebatuan dibagian dasar bangunan adalah karena gajah mempunyai kekuatan fisik yang tinggi, ia mampu mengokohkan keutuhan bangunan dengan kekuatan otot badannya. Dalam cerita pewayangan dijelaskan juga bahwa gajah dilambangkan juga sebagai Dewa yang mempunyai sifat pandai, bijaksana, dan bersikap hati-hati dalam segala usahanya. Ia dikenal dengan berbagai nama, seperti Gajanana, Gajawadana, Gajawadana Karimuka (berwajah gajah) dan Lambakara (berkuping Gajah) dan kesemuanya itu bisa terlihat dalam sosok Genesha.

Dipilihnya gajah/Asti diartikan pula sebagai wahana komunikatif manusia dengan alam lingkungan, sebagai perwujudan Tri Hita Karana artinya kelestarian lingkungan harus tetap dijaga keasliannya. Disini memuat arti penting bahwa peran lingkungan dalam hal ini gajah sangat penting bagi kesejahteraan hidup manusia. Sisi komunikatif lain yang perlu diambil pemaknaannya adalah, gajah juga disebut dengan Asti yang berati pula Asta berati Delapan. Angka-angka yang dilukiskan yang berarti arah dimuka bumi yang berjumlah delapan, dimana kedelapan arah yang dimaksud adalah delapan mata arah angin; utara, timur, tenggara, selatan, barat daya, barat dan barat laut. Hal ini menandakan munculnya rejeki manusia yang ditentukan juga dengan kedelapan mata arah angin tersebut.

Disamping yang telah disebutkan itu, karang gajah juga dijadikan sebagai wahan keindahan, penempatan jenis hiasan ini biasanya menonojolkan keindahan sebagai suatu karya seni yang adi luhung, baik yang disempurnakan atau yang diabstrakan sehingga menghasilkan gajah yang bermata bulat dengan deretan gigi yang rata. Dalam variasi penampilannya biasanya hanya mementingkan nilai keindahan dari komposisi ekspresi dan keserasian, biasanya jenis kekarangan ini menampilkan sikap agung mempesona, sebagai pencerminan masyarakat yang berjiwa besar dan berwibawa.

Dalam hubungannya sebagai wahana edukatif, gajah juga mewakili diri sebagai simbol-simbol yang mengandung muatan filosofis yang dapat dijadikan landasan atau jalan pemikiran manusia, seperti simbol Genesha sebagai Dewa pendidikan, sastra, dan penyebar ilmu pengetahuan, sehingga jangan salah jika ia dipuja oleh ahli pendidikan dan para penulis Hindu bila hendak membuat naskah karangan atau sebuah buku.

Konsepsi gajah dalam dataran ritual juga dipercaya sebagai pelindung seperti yang ditemui pada masyarakat tertentu, contohnya yang dapat dilihat pada masyarakat Jawa dan Bali. Nenek moyang bangsa kita sejak dulu percaya akan adanya nilai-nilai simbolik yang terkandung dari penggambaran kedok, patung atau nilai ornamen lain. Secara simbolik bentuk gajah atau motif gajah merupakan binatang tunggangan para ksatria dan biasanya ditempatkan pada pintu gerbang paling depan pada sebuah bangunan suci sebagi penjaga. DiJawa Timur, patung gajah atau arca genesha biasanya ditempatkan didekat penyebrangan sungai atau jurang yang dianggap berbahaya. Diduga arca yang ditempatkan disitu dimaksudkan untuk menolak bala atau malapetaka (Ensiklopedi Nasional Indonesia,2004;49).

Petikan lain yang dapat diangkat dari motif kekarangan ini adalah adanya kepercayaan pada masyarakat Bali yang mengetengahkan bentuk penyatuan antar hidup dan kehidupan dari makhluk hidup dengan tanah atau bumi, jadinya lebih cocok kalau jenis kekarangan ini ditempatkan pada alas pura/bangunan suci sebagai bentuk penyatuan dengan tanah atau pertiwi sebagai pemberi kehidupan.

02 Agustus 2009

Sebuah Kritik: Membaca Pemikiran Nyoman Gunarsa dalam konsep berkarya Seni Lukis

Pendahuluan;
Istilah tradisi di indonesia adalah pengungkapan kesenian dalam bentuk yang beragam seperti seni-seni primitif, tetapi juga seni yang bernuansakan religi hindu, budha atau islam yang mempunyai ciri dan kekhasan yang sama yaitu berumur lebih dari seratus tahun, yang kokoh, konserfatif, dan kumpulan seni ini sering disebut sebagai seni tradisional. Seni Tradisional sifatnya tetap, tak berubah, berasal dari daerah dan mengacu kepada masa lalu, sementara seni moderen yang senantiasa selalu berubah, bebas, lepas dari pakem-pakem yang datangnya dari luar malah membaur membntuk suatu citra percampuran antar tradisi-moderen, yang keduanya semakin dipertajam dalam nafas kontemporernya yang sesuai dangan roh kehidupan dan sesuai dengan jiwa zamannya. Maka seni rupa modern di Indonesia kalu bisa disebutkan adalah "pencangkokan" tradisi-moderen didalam perkembangannya seperti yang dapat dilihat pada karya Nyoman Gunarsa.

Secara naluriah gambaran yang muncul pada setiap pencangkokan seni rupa moderen Indonesia adalah tak dapat lepas dari konsep dan ide-ide yang mapan dalam melahirkan nafas pembaharuannya, sehingga tidak salah bila pada seniman-seniman kini ada asumsi yang mengatakan bahwa,jika kita ingin mengubah impian masa lalu kita.."kunjungilah paris", dalam artian semakin giat kita membuka diri kita dengan seni-seni yang berkembang diluar diri kita yang tak ada batasannya, maka kita akan memetik segudang pengalaman lewat ketajaman rasio dalam membentuk "mood" dan menghasilkan ide atau konsep yang kreatif dan fariatif, kritis dan analitis serta ditunjang dengan gaya garapan yang kreatif.

Dalam menilik karya seni yang berbasis pada pembaharuan, sebenarnya kita dapat membedakan pada dua segi pengenalannya, yaitu segi kerativitas dan pada segi kekritisan. Dalam membentuk suatu citra karya seni yang unggul kesemuanya tidak terlepas dari kedua pokok persoalan itu, sebab kreativitas adalah syarat mutlak yang masih dituntut oleh seni moderen yang bahkan merupakan ciri khasnya. Menurut Albert Camus, syarat utama kreativitas adalah memiliki kebebasan, selalu melakukan komunikasi dan yang terakhir adalah dituntutnya keberanian, karena menurutnya keberanian adalah suatu sikap pemberontakan yang kreatif. Lantas sampai sejauh manakah pemberontakan yang kreatif dalam melihat karya-karya Nyoman Gunarsa?? Dimanakah ide-ide kekritisannya dalam melahirkan konsep yang menggugah?? Sejauh manakah eksistensi para seniman-seniman besar kita dalam melihat gejolak sosial dan politik yang bergerak dimasyarakat kita. Bukankah dengan kekritisan dapat atau semakin mempertajam kedudukan kita sebagai seniman dalam menduduki peringkat puncak untuk mendobrak hegemoni masyarakat yang penuh dengan ketimpangan-ketimpangan moral atau melucuti kostum-kostum, kedok-kedok, simbol-simbil status negara dan politik?? Coba kita tilik lagi, sudah berapa banyakah seniman-seniman besar kita yang bergerak dalam kesenirupaan kita yang memakai kekritisannya?? Mungkin kalau tidak salah bila para seniman-seniman besar kita dalam berkarya lebih mengaktualisasikan hanya pada gaya garapannya yang rumit, dengan didukung oleh teknik-teknik yang menarik, yang baru, tetapi belum merambah kepada muatan-muatan kritis dan politis. Malah ada yang hanya merupakan sebuah pemandangan alam saja, yang dikuasi, lalu ditopengi dengan teknik garapan yang katanya eksotik, nyentrik dll.

Menyimak dari persoalan itu yang berbasis pada sub kreatif dan tindakan kritis, maka apa salahnya kita coba mengkaji sampai sejauh manakah peran kekritisan ide dari Nyoman Gunarsa dalam menelorkan sejumlah karya dengan menyorotoi peran analitis-kritis dalam melihat gejolak sosial dan politik yang berlangsung dimasyarakat. Sebab cakupan gaya atau aliran dalam seni lukis moderen selalu berbicara tentang apa itu kreativitas dan produktivitas pelukisnya dan sama sekali belum merambah kepada sistem yang berbasis pada ide dan konsep yang lebih mendobrak!!.


Karya-karya Nyoman Gunarsa;
Dari sekian banyaknya seniman lukis moderen di Indonesia dewasa ini, Nyoman Gunarsa adalah salah satu diantaranya yang tetap manjadikan sketsa sebagai kegiatan yang tak dipisahkan dari hidup kesehariannya. Bahkan lebih jauh sketsa telah menentukan corak berkeseniannya sampai menjadi seorang seniman yang berkibar dipanggung seni lukis Nasional dan Internasional. Bentuk sketsa yang amat menarik bagi Nyoman Gunarsa didalam penciptaan karya-karyanya adalah sketsa tentang manusia dan lingkungan, sketsa sesaji dan sketsa wayang/aringgit.

Berkenaan dengan bentuk sketsanya yang pertama yaitu yang bertemakan tentang manusia dan lingkungan, maka ciri utama yang dapat ditangkap adalah dinamika masing-masing garis dan warna yang tak menjemukan..kadang-kadang dalam sapuan garis besar, sedangkan yang lain secara lebih lengkap diwujudkan dengan garis-garis yang lebih kecil membentuk kandungan objek yang diinginkan. Demikian halnya dalam pengungkapan ekspresi atau penggambaran bentuk wayang, babi, ayam, kuda, dapat diurai dalam garis dan arsiran minimal yang bebas dan tak serba sama. Motif atau gambaran manusia sebagai hasil menyeketnya dari kehidupan nyata akan berbeda dengan hasil sketsa manusia dari relief atau pura. Kedua hasil menunjukan suasana, kejiwaan, proporsi maupun ekspresi yang berbeda jelas. Disamping itu Nyoman Gunarsa mampu menyeket hasil pahatan karya seni menurut gayanya serta membuat sketsa manusia dari imajinasinya tanpa model. Setelah merasa cukup menguasai bentuk sketsa tentang kehidupan nyata, Nyoman Gunarsa mengalihkan perhatiannya pada motif khusus dengan aspek budaya, maka ia tertarik untuk mempelajari ekspresi dari susunan bentuk sesaji.

Sesaji dengan segala perlengkapannya itu, dilihatnya dengan dua sikap pendekatan. Pertama, dalam kaitannya dengan nilai-nilai ritual yang menimbulkan rasa haru yang dalam serta hormat kepada nilainya sebagai bentuk pengabdian kepercayaan. Kedua, ia melihat bentuk sesaji itu sendiri sebagai penampilan estetis yang berbeda dan unik, seperti bentuk sesaji keseharian yang paling sederhana dan esensial sampai bentuk sesaji persembahan untuk para dewa-dewi. Bentuk-bentuk sesaji ini diolah Nyoman Gunarsa menjadi ekspresi karya seni lukis dalam garis-garis bebas sketsa.

Terakhir adalah sketsa Nyoman Gunarsa yang berbentuk wayang/aringgit, menurutnya seni wayang menempati kedudukan yang setral sebagai ajaran filosofis, perwatakan, maupun sebagai pendidikan estetik. Sebagai pelukis masa kini, Nyoman Gunarsa bersifat individiual, kreatif eksperimental.Lewat kreasinya ia hidupkan ide wayang klasik sebagai motif atau tema seni lukis moderen Indonesia dengan cara menyeket wayangnya secara spontan, dengan keteptan proporsi maupun dengan perubahan bentuk yang dikehendaki secara sadar.

Pada umumnya sketsa yang digariskan oleh Nyoman Gunarsa mempunyai spontanitas yang tinggi, mempunyai getaran ekspresi. Didalam setiap pelukisannya gerak garis menjadi sangat penting, itulah sebabnya mengapa lukisan cat air baginya merupakan medium yang sempurna. Hanya seorang pelukis yang mempunyai keahlian teknis dengan kecerahan dan kebebasan tersebut mempertunjukan landskap, manusia dan suasananya yang cemerlang. Karya-karyanya memancarkan kesegaran yang penuh dengan hasrat, bahkan bahasa warnanya mengkspresikan pengalaman pelukis ini yang memiliki satu temprament bergejolak direfleksikan dengan emosi yang bekilauan dengan warna-warna yang meriah. Nyoman Gunarsa dalam aktifitasnya sebagai pelukis dituangkan dalam beberapa periode,yaitu periode akademis, periode abstrak, periode wayang serta tari yang digeluti kurang lebih empat puluh tahun. Kini Nyoman Gunarsa mencantumkan periodenya yang terakhir yaitu periode "moksa" pada tahun 1998. Moksa bagi dia adalah konsekuensi akhir dari aktifitas hidupnya sebagai pelukis. Banyak karya-karya terbarunya yang terakhir ini sengaja tidak diwarnai melainkan hitam-putihnya saja.

Sketsa dalam lukisan Nyoman Gunarsa adalah ungkapan yang paling esensial dan berfungsi sebagai media dalam proses kreatif dan sekaligus utuh sebagai sebuah karya seni. Nenek moyang kita pada zaman dahulu membuat sketsa-sketsa didinding gua dan sketsa inilah oleh para ilmuwan dianalisa untuk membuka tabir kegelapan tentang keadaan zaman ribuan tahun yang lalu, sama halnya dengan mengamati lukisan Nyoman Gunarsa yang mengandung kedalaman bentuk visual seperti garis, warna, tekstur, bentuk dan ruang, maka kita akan cepat menangkap makna apa dari perwujudan visual tsb. Maka kesimpulan yang dapat kita tarik dari objek pelukisan Nyoman Gunarsa adalah kecerahan dunia fantastiknya yang mengandung kekuatan niskala yang sifatnya magis, mempunyai tempramen bergejolak, penuh emosi yang didekatkan pada roh atau taksu Bali itu sendiri. Semuanya dibubuhi dengan kemampuan garis dan warna yang terbilang eksotis dan romantis. Memang Gunarsa adalah pelopor pelukis Bali masa kini yang telah membebaskan dirinya dari tradisi tanpa menghilangkan roh atau taksu Bali itu sendiri, karena baginya seni adalah sebagai sesuatu yang religius, suatu tempat dimana seseorang barangkali memperoleh cara yang benar, yang pernah lama hilang dari kehidupannya. Selain itu seni harus memiliki bobot, ekspresi indah, menciptakan nilai-nilai baru dan bukan merusak nilai-nilai yang sudah ada.


Pembahasan;
Melihat dari pemikirannya tersebut, disini patut dipertanyakan lagi..apakah seni hanya berurusan dengan nilai keindahan saja?? Apakah seni yang dikejar hanya untuk menghipnotis masa dengan tawaran-tawaran keindahan yang mampu memberikan kedamaian..dimanakah ketidak aturan itu yang memang ada bentuknya didepan mata kita?? yang semakin dengan angkuhnya merobek nurani kita!! Sebab pada hematnya, menurut Hebert Read; seni tidak selamanya identik dengan keindahan, seni tidak selamanya selalu menyenangkan atau selamanya indah tetapi yang terpenting dapat menggugah perasaan seseorang, sebab seni pada jaman moderen ini telah menjadi sebuah alat komunikasi terhadap masalah sosial, politik dll. Apakah hanya didunia baratkah gejala-gejala serupa kelihatan??

Sifat umum dewasa ini yang sering tampak dalam kesenian barat antara lain adalah usaha untuk menimbulkan "efek Shock", memperlihatkan rasa frustrasi dan kejemuan yang dirasakan oleh para seniman dan sebagian masyarakat. Shock sama dengan menggoncangkan yang dulu dianggap mapan dan stabil, melemparkan batu kekaca-kaca yang melindungi harta-harta nilai tradisional, dengan sengaja menertawakan dan mencemoohkan apa yang oleh angkatan-angkatan dulu yang dianggap suci dan keramat, memberontak terhadap tata tertib yang dulu tak pernah diragu-ragukan serta membubuhkan tanda tanya dibelakang setiap pernyataan dan ucapan. Ini merupakan kekurangan yang sedikitnya dirasakan pada saat ini dalam menapaki seni rupa Indonesia pada umumnya. Sebab terasa ada kemandekan sikap kritis dari sebagian seniman-seniman besar kita. Apakah kekritisan hanyalah merupakan milik seniman kecil, pinggiran, yang menjadikannya sebagai alat katrol dalam mempromosikan dirinya untuk menempati kedudukan yang lebih terhormat.

Pada hematnya, kritis adalah suatu usaha mental untuk memperoleh suatu gagasan, ide, konsep yang menarik, menggugah perasaan atau suatu usaha untuk memikirkan apakah ada sejumlah jawaban untuk suatu persoalan tertentu. Kenyataan menunjukan bahwa beberapa seniman tertentu sering bersifat lebih kritis dalam pencetusan ide-idenya dengan dikondisikan dengan situasi disekitarnya. Sementara orang lainnya mungkin lebih kreatif, produktif, dengan gaya pengaktualisasiannya dari pada bersikap kritis. Tetapi akan lebih manarik lagi kalau kedua hal itu berjalan dalam satu bingkai yang sama, maka tawarannnya pasti lebih menggugah, idealis,dll. Memang benar bila ada pendapat yang mengatakan bahwa, lukisan Nyoman Gunarsa telah melepaskan dirinya dari jiwa zamannya, dia adalah pelopor pelukis Bali masa kini yang telah membebaskan diri dari ikatan tradisi tanpa menghilangkan roh atau taksu Bali itu sendiri. Saya sangat setuju dengan pendapat tersebut, tetapi yang perlu dipertanyakan lagi; Apakah bedanya Taksu Bali dengan Tradisi Bali?? Apakah benar konsep dan gaya pelukisan Nyoman Gunarsa sudah membebaskan diri dari ikon-ikon tradisi?? Secara lokalitas pendapat tersebut memang dibenarkan, akan tetapi kalau dikaji dalam pandangan seni rupa dunia, bagi saya pendapat tersebut belum tentu dibenarkan.

Sebagai akhir dari kritikan ini, mungkin dapat dicari jawaban-jawaban, mengapa eksistensi Nyoman Gunarsa sebagai pelukis Bali masa kini tidak merasa terdorong untuk memprofokasi dengan "seni kritik" (critical art), karena mungkin seni baginya adalah suatu prefleksian, atau suatu kerinduan terhadap dunia yang ideal, yang sudah lama hilang, yang diejek, yang ada dibelakang berbagai hal, yang dapat menemukan makna-makna yang lebih dalam untuk pemuasan bathinnya. Kitapun juga harus mengakui, walaupun eksistensi Nyoman Gunarsa sebagai pelukis belum merambah kedunia seni kritik, tapi bagaimanapun juga setiap karya-karya Nyoman Gunarsa telah memberikan masukan-masukan yang berarti bagi perkembangan seni lukis Bali moderen masa kini dan pada masa yang akan datang, didalam menghidupkan nafas seni rupa Bali menuju era pembebasan. TAMAT


01 Agustus 2009

Ende "Puisi buat Sinta" Kenangan Lalu..



                   Erotis

Gerak rumbai perhiasan tari mu
Melingkari bagai pernak-pernik dewi persik
Kadang terbias kerlap-kerlip
Secantik kulit muda dara perawan mu

Diatas kanfas gerak
Terdongak tinggi liar pinggul muda mu
Hingga belahan gairah pada pantatmu
Terbaca panas seiring gema gamelan bertalu kencang

Lenggak-lenggok tubuh mekar aduhmu
Meninggi adrenalin pada setiap kelelakianku
Hingga aku gerah bagai pada pendakian
..dan terhempas memuncrat amarah jahanamku

Yah, kau dewi persik dewi-dewiku
Semua memandang rakus pada tubuhmu
Rapuh iman menjalar tak bermakna
Cuma ada dua ujung sepi..dua dilema
Mengumbar birahi atau bernada estetis??

Dan diatas kanfas gerak pikiranku
Masih membusung padat dua buah dada mangkal mu
Masih membekas hangat yang tak jua lapuk
Pada awan pikiran nakal,bagi pejantan seperti aku.

             Gawaian Kasmaran (buat Lis,Gadis Kelimutu Ku)

Hai sepenggal nama indah
Beraroma liar tapi segar
Secantik anggrek hutan ditimur
Dari balik gunungmu di daratan tanah gersang

Lihatlah jari-jariku
Aku tengah memujimu
Dengan gawaian-gawaian kasmaran
Diatas papan-papan batumu yang mulai roboh

Oh warna matamu
Bagai putih telagamu
Meneduhkan tulang-tulangku
Oleh bujuk gairah mudamu

Dan segerat tipis bibirmu
Seliar merah telagamu
Melumatkan sejengkal badan-badanku
Terbaring nikmat kita diatas bara

Tinggalah disini kau gunungku
Hijau usiamu seperti juga telagamu
Yang seakan tak pernah lepas membiru
Menyirami aku dengan gejolak cintamu

Oh kau yang terapiti lintah diatas rumput liarmu
Dengarlah dambaanku pada waktu dulu
Yang kurajut dalam satu dua nafasku
Agar engkau tahu aku tetap ingat kepadamu.                                           
                         Kesal

Meniti pagi beranjak petang
Mengandung gemuruh amarah melayang
Tinggalkan hati yang tenang lapang
Dengan dendam sepanjang badan

Kurangakai kesal pada untaian kata
Datang mencerca dendangkan sesal
Menyelubung awan menutup jiwa
Lalu keraskan pada dentuman pecah!!

Diatas puing-puing yang retak
Kurenung kepalkan tangan
Manahan rasa yang amat mendera
Lalu perlahan terbangkan kematian pada akalan sehat

Nurani merangkak berjalan
Lepaskan asa yang mengikat
Ku sujud pada kusut
Dan pada gumpalan hembusan kesal


                Stempelan Palsu Untuk Istri

Langkah-langkah malam diatas titian hidup
Menghadang sarang laba-laba terkusut
Menjaring tubuh-tubuh yang senang menggerayangi tubuh
Dengan cengkraman nafsu yang memburu pada kota ku

Melepaskan kemoralan yang terkatup apik
Lewat hentakan-hentakan riang diluar kulit
Lalu mendengus perang saraf diatas ranjang antik
Menggegerkan ruang sempit seperti gempa bumi

Memang..kelung gemerlap yang terasik buatan kota ini
Lebih membendung jakun aliran darah para lelaki
Sehingga seperti tubuh kalkun yang dicabuti bulu bulirnya
Mereka dendangkan kata perang-perang ranjang

Sampai mereka semua puas dan pulang
Menipu istri-istri mereka yang polos
Berlaku manja mengelabui pada pias-pias manis
Cilik-cilik kecil yang masih suci pada akalan bulus

Ah..lucunya manusia-manusia ini
Terbalik atas bawah hitam dan putih
Baik dan buruk subur dan bertambah abadi
Memetik kenikmatan hidup walau sedikit menutupnya
dengan stempelan palsu untuk istri dan cilik-cilik buatan asli..


               Mama

Ada rasa mencerna kata
Ku rajuti kainku berlubang
Hanya sendiri kuteliti kaitan benang hati
Melapisi luka-luka diperantauan ini

Tanpa mama sendu pilu kelabu
Aku yang diam pada pengasingan cita-cita
Bukan ceria pada cerita usang
Tapi tetes duka menyumbat kepala

Mama..
Serasa angan melepas kekusukan masa
Bila kuingat pada kemanjaanmu mama
Ingin kembali pada ribaan mu
Tak tahu apa yang dapat kupersembahkan

Mungkin sebuah candi
Sebuah mehru
Ataukah hanya sebongkah bata yang belum jadi
Ku bahagiakan untuk mu mama??

Mama..
Perjuangan anakmu belum usai
Masih kutoreh benang kusut pada dinding
Pahat-pahat pada arca
Lalu panil untuk mu mama..

Menggambarkan buaian aku pada peluk mu
Kasih seorang ibu yang lama aku rindukan
Bagai dulu di kanak-kanak ku
Bergelayut pada gendongan mu

Mama..
Ku kenakan lagi kain setelah kutambal usang
Masih tergambar lubang yang belum jadi
Memamerkan pada kenalan, sahabat, orang dekat
Sebagai bukti pahit getirku mama..

Belum sesempurna seperti aku dulu
Semasih didekat mu


          Emas Freeport

Segerombolan wajah-wajah hitam
Berdemo diatas surga
Negeri seribu dongeng dengan emas makanannya
Yang kini jadi santapan orang putih bersaku tebal

Tak lupa mereka bawa yal-yal
Disampingnya pentungan dan batu-batu cedera
Lalu mengoyahkan akal sehat
Dan tentara jadi korban

Di depan ladang emas freeport
Kami mencari hak atas kami
Sejahterakan kami
Sebab emasnya milik kami

Aku diam membaca koran pagi
Memang itu nasib kita anak negeri
Menelan pahit atas nama keserakahan
Dari wajah-wajah bermuka tebal

Wahai para penjilat kekayaan rakyat
Kembalikan gedung-gedung, jalan-jalan..
Rumah-rumah pada kotamu
Untuk gantikan emas yang kau bawa

Biar bisa menghidupi
Anak kami..
Istri kami..
Dan keluarga kami..

Yang tlah mati
Di papua ini..


            Guruku

Jasamu aku banggakan
Pemberi suluh di dalam kegelapan ku
Walau honormu kecil
Kau tak putus mengabdi

Tetapi..
guruku
Tadi di koran pagi
Ada berita duka yang sudah basi

Gadis "R"
Ditelanjangi dan digauli
Oleh guru "S"
Di kebun salak

Guruku..
Sore nanti akan aku bawakan
Krans bunga buat mu
Untuk jasamu dan moralmu yang mati!!


       Luka Satu Oktober (kenangan bom bali dua)

Secerah malam
Pada wajah mu
Kota ku
Yang berdaun rimbun

Sejenak para dewata
Riuh senyap melantunkan doa
Dan tergilaslah dentuman
Kotaku berwajah kusam

Ada apa jawablah!!
Kau kota ku
Sendu, pilu, kelabu
Terjerembab dan rapuh

Pasti ada tangan nista
Merobek kota ku
Dimanakah nurani mu
Jiwa laknat yang tak punya sesal

Mengapa kau taruh tangan mu
Hingga kota ku tak lagi rimbun
Bertengger ranting-ranting patah
Tergores luka di batang-batang ku


        Pada Pucuk Bunga Waru

Cahaya mata diriak awan
Bersanding senandung bias lama
Membelai rindangnya angan disenyap lapang
Menciptakan paduan aroma nuansa jelang

Pada pucuk bunga waru mu
Ada bisikan kalbu yang haru
Menarik manis gemaskan hati
Terciprat hasrat tak serupa kini

Ini rasa remajakan wajah
Pada pucuk bunga waru mu
Yang jatuh di atas rambut cinta kita
Kemudian lekang menggelar sejuta kata

Kita berbalas-balas rasa
Menghujani janji sedalam bumi
Sahajakan pasangan bai't berlapis-lapis
Lalu bergumul cinta yang amat jalang

Masa lalu pada pucuk bunga waru mu
Berlalu layu tergolek jauh
Terkatup, tertutup, pupus dan lusuh
Hilang lalu luruh tinggal labuhan ku


         Kau Camar Putih

Seperti camar putih engkau
Bermain ditengah lautan
Gemulai..lincah dan kau malu-malu
Dalam gerak tak berkata tapi punya rasa

Wahai kau camar putih
Apakah kau mendengar
Bisikan angin petang
Yang mengabarkan bahwa malam akan menerpa??

Wahai kau camar putih
Kapankah kau datang
Hinggap didahan-dahan ku
Dan kita akan bercerita
Tentang indahnya malam ini
                                                                                                                     Lumpur Pekat Lapindo                                                                                                     

Gemetar jari memeluk pena                                                                   Kau aku toreh dalam desah-desah risau ku
Memanggil sisi-sisi tergelapmu bencana
Menilik ranting patah dari ambisi
Pengeruk bumi berbuah petaka

Air matamu menghitam..sehitam nasibmu malang
Dan kau coba bercermin pada tanah lembab itu
Sebab sudah menjadi lumpur hitam di bawah jejak
Nian hari kian meninggi

Hati teriris bingung dimana pijakan mu
Tengelam dalam lumpur pekat lapindo
Berantaskan surga kecil mu dan ranjang empuk
Jadikan kuburan kelam tanpa nafas

Sidoarjo..sidoarjo..nasibmu malang
Berkalang pada kubangan hampa yang sepat
Lalu rasa panik mencari naungan kosong
Menyaksikan yang sia-sia menolong mu

Hingga petang merengkuh pada malam
Selalu kau sebut-sebuti mereka penguasa
Kapan hati mu kembalikan lapangnya dadaku sayang
Dengan surutnya luberan lumpur para jahanam!!


 


     Sindrum!!

Pada ranjang kreatif ku
Kadang beralaskan sindrum
Dibawahnya berkasur depresi
Atasnya berbantal stres

Salahkah aku berhenti mendaki
Bila virus itu melumpuhkan
Saraf pusat otak kiri
Dan tereliminasi

Atau benarkah terusi perjuangan
Tanpa ku hiraukan kuman itu
Seperti kudis liar
Menggerogoti kulit??

O sahabat..jangan bunuhi diri mu
Panjangkan akal dan hati
Biar kau pongah
Diatas ranjang kreasi mu

Atau jugakah kau
Seperti Curt Cobain
Di serang depresif
Dan menyalaklah revoler pada kepalanya??

Hingga terkuaslah lukisan darah
Pada tembok..pada lantai
Karena tak kuasa pada nasib
Dan pada sindrum mu


      Sabtu Subuh Yogyakarta

Ketika mimpi sedang berjalan
Saat-saat jiwa terlelap
Merangkak dalam dunia
Samar-samar subuh
Lalu rubuh tanah mengguncang bumi
Hancurkan sisakan
Taing-tiang rumah
Beton hitam..bata yang memerah
Darah!!
Mengubur sisa-sisa hidup..pada kematian
arwah berjalan..linglung
Dan tangis ketakutan
Menunjuk-nunjuk
Ayahnya, ibunya, kakaknya, adiknya
Yang Mati!!

Pagi dua tujuh bulan kelima
Bangunannya, tanahnya, gedungnya, rumahnya
Jadi debu..
Menyapa sendu embun pagi
Di tinggal keceriaan kemarin
Lalu sabtu subuh yogyakarta
Dua ribu enam
Lima ribu orang
Berkalang pada tanah

Menyisakan duka
Lagu sedih, pilu, kelabu
Yang ditinggalkan
Lapar..
Luka..
Kedinginan..
Lalu mati..
Menambah kerut luka duka dihati

Tuhan-Tuhan kami, lihatlah..
Ia tersedu hapusi tangisnya
Tanpa suara tinggal serak-serak lemah
Memeluk bangkai tubuh kecil anaknya
seperti kehilangan harapan ia berkata

Tuhan-Tuhan kami
Gapai-gapaian tangannya
Selalu pada cumbuan yang beku
Yang diam ditemani darah
Di dalam kasih seorang ayah..

Ya Tuhan ku..mengapa ini terjadi
Segudang duka mengantar jasad..
Ya Tuhanku..mengapa ini terjadi
Sebuah bencana memisahkan rasa..
Antara kasih seorang ayah, ibu, kakak, adik
Dan anaknya yang mati
Diantara puing tragedi
Sabtu subuh yogyakarta.


     Duniaku Hampa (kenangan RS.Sanglah)

Duniaku hilang sahabat ku
Sejak raga hampir menjauhi aku
Aku sesal tiada guna
Semua menjauhi kosonglah riangku

Duniaku hilang sahabat ku
Menapak detik waktuku lalu
Tiada guna berlagak pukau
Pada usaha tanpa makna ku

Duniaku duri dalam sepi
Merajut sakit tubuhku lengah
Hingga musnah langlang buana ku
Sampai jatuh kebawah bumi

Duniaku..duniaku hampa
Meniti usaha yang kosong
Tanpa buah yang meronah
Resah menyengat slamanya..


    Merah Mudah Kita

Rinai-rinai hujan yang putih
Menyeka kelam yang lama
Mengeluarkan harum pada ujung daun
Membentuk lengkungan pada senyum ku
Pada pesonaku dulu
Yang kagum pada peluk mu

Rinai-rinai hujan yang putih
Kini membasahi kertas
Menyebut nama itu
Lalu..gemakan nada jingga
Tebarkan asa
..dan bertanya
Adakah gerah mu
Buat tegarkan jenaka
Merah muda-merah muda kita??



    Kudapati Damai

Sepanjang malam tadi
Aku terdiam sepi
Anganku merangkak pergi
Mencari padamu diri

Pagi kini telah bersemi
Sesegar sekuncup melati
Merasuki sukma abadi
Dalam tatapan mu ku dapati damai

Jauhi aku petangmu nanti
Biar aku bebas meresapi
Akan arti senyummu kasih
Yang tengah bergejolak kini                                                                                                                                             Kau Camar Putih                                                                                                     
Seperti camar putih engkau
Bermain ditengah lautan
Gemulai..lincah dan kau malu-malu
Dalam gerak tak berkata tapi punya rasa
                                                                                                                       
Wahai kau camar putih
Apakah kau mendengar
Bisikan angin petang
Yang mengabarkan bahwa malam akan menerpa??

Wahai kau camar putih
Kapankah kau datang
Hinggap didahan-dahan ku
Dan kita akan bercerita
Tentang indahnya malam ini.




Persoalan Kriya pada Masyarakat luas


Masyarakat masih begitu terasing dengan sebutan "kriya atau kriya kayu", tapi dalam lingkup akademis istilah tersebut rasanya sudah tidak asing lagi. Tapi baiklah saya menyebut semua karya yang berkaitan dengan ukiran kayu (berkaitan dengan keahlian tangan atau yang berwujud dua dimensi) yang sering saya temui dalam masyarakat sebagai karya kriya..dan berbicara tentang karya yang saya temui itu juga tidak kalah dengan seabrek persoalannya, berikut akan ditampilkan peta persoalannya:

*Pertama, Bila ditinjau dari mutu bahan, kriya pada mulanya masih tergantung kepada alam dengan mengandalkan kayu, rotan, tanah liat, kini harus tergeser dengan kehadiran atau produk pabrikan yang lebih elitis sifatnya, seperti munculnya bahan-bahan industri rumah tangga yang digantikan dengan produk-produk plastik, gelas, fiber, serta logam yang lebih terunggulkan dalam memenuhi keinginan setiap konsumen.

*Kedua, Hasil-hasil kriya masih dipegang oleh industri menengah kebawah yang mengandalkan *mesin-mesin sederhana yang sedikitnya tergeser oleh industri besar yang mengandalkan mesin-mesin berat yang penciptaannya telah didesain sedemikian rupa sehingga menghasilkan barang jadi yang lebih bermutu dan berkualitas.

*Ketiga, Faktor "Desain Produk" yang masih dipegang oleh para desainer asing dan bukan merupakan desain lokal yang berbasis pada unsur kebangsaan yang berbhineka.

30 Juli 2009


Kriya Akademik dan Peta persolannya
Secara kontekstual , masyarakat kriya yg bergerak dalam bidang akademik masih memposisikan kerancuan kriya yang sebenarnya, diantaranya adalah; Pertama; Bagaimanakah membentuk otoritas kriya dalam mensejajarkan dengan bidang-bidang lain seperti seni lukis dan seni patung.

Kedua: Bagaimanakah memposisikan antara kriya dan kerajinan yang sekarang tampaknya masih dikotomi..yang serasa semakin samar membaur dan saling bertentangan.

Ketiga: Masyarakat kriya akademik masih begitu terkungkungnya dengan seni-seni masa lampau yang berlandaskan pada pakem-pakem tradisi, masih terbuainya dengan segala konsep seni adiluhung yang sangat kuat meresap dalam sanubari serta sulit untuk dimasak dan dikemas kembali dalam kostum baru yang selaras dan sesuai dengan jiwa zamannya.

Keempat: Kurangnya sikap membuka diri terhada peristiwa -peristiwa yang berlangsung dengan cepat diluar kampus. Apabila hal ini tidak diantisipasi secara cermat maka akan mendorong semakin renggangnya jarak pemisah antara dunia pendidikan dan lingkungannya. Sebab, suapan-suapan seni tradisional yang tidak terkontrol dan tidak diselaraskan dengan perkembangan zaman akan membentuk pribadi-pribadi yang terasing, terisolisasi, jika mereka harus terjun kekancah kehidupan sosial yang mendunia. Hal semacam itu tidak lebih dari membelenggu mereka dari kemerdekaan berkreasi yang tentunya akan berakibat fatalbagi tujuan pendidikan yang diharapkan.

Kelima: Rendahnya kritik terhadap seni kriya yang disebabkan oleh besarnya arogansi para kaum kritisi dan seni rupawan yang lebih mengetengahkan seni lukis dan seni patung dari pada seni kriya. Sebagai akibat dari ulah kaum kritisi yang demikian itu maka tingkat apresiasi masyarakat terhadap seni kriya terasa sangat terabaikan.

Keenam: Terdapat penolakan yang signifikan terhadap pola pikir Desain yang rasional-fungsional, sehingga perancangan kriya fungsional kurang berkembang. Menurut Tesis Pendidikan Kriya yang dikaji oleh Imam Buchori yang menjelaskan bahwa, apabila seni kriya semakin dekat dengan wilayah Desain maka akan terasa semakin jauh dengan seni murni, otomatis pola pikir Desain yang rasional-fungsional akan semakin kental. Sebaliknya semakin dekat dengan wilayah seni murni, maka semakin besar pula intesitas ekspresi estetiknya.

Kriya Akademik dan Peta persolannya


Kedua: Bagaimanakah memposisikan antara kriya dan kerajinan yang sekarang tampaknya masih dikotomi..yang serasa semakin samar membaur dan saling bertentangan.
Ketiga: Masyarakat kriya akademik masih begitu terkungkungnya dengan seni-seni masa lampau yang berlandaskan pada pakem-pakem tradisi, masih terbuainya dengan segala konsep seni adiluhung yang sangat kuat meresap dalam sanubari serta sulit untuk dimasak dan dikemas kembali dalam kostum baru yang selaras dan sesuai dengan jiwa zamannya.
Keempat: Kurangnya sikap membuka diri terhada peristiwa -peristiwa yang berlangsung dengan cepat diluar kampus. Apabila hal ini tidak diantisipasi secara cermat maka akan mendorong semakin renggangnya jarak pemisah antara dunia pendidikan dan lingkungannya. Sebab, suapan-suapan seni tradisional yang tidak terkontrol dan tidak diselaraskan dengan perkembangan zaman akan membentuk pribadi-pribadi yang terasing, terisolisasi, jika mereka harus terjun kekancah kehidupan sosial yang mendunia. Hal semacam itu tidak lebih dari membelenggu mereka dari kemerdekaan berkreasi yang tentunya akan berakibat fatalbagi tujuan pendidikan yang diharapkan.
Kelima: Rendahnya kritik terhadap seni kriya yang disebabkan oleh besarnya arogansi para kaum kritisi dan seni rupawan yang lebih mengetengahkan seni lukis dan seni patung dari pada seni kriya. Sebagai akibat dari ulah kaum kritisi yang demikian itu maka tingkat apresiasi masyarakat terhadap seni kriya terasa sangat terabaikan.
Keenam: Terdapat penolakan yang signifikan terhadap pola pikir Desain yang rasional-fungsional, sehingga perancangan kriya fungsional kurang berkembang. Menurut Tesis Pendidikan Kriya yang dikaji oleh Imam Buchori yang menjelaskan bahwa, apabila seni kriya semakin dekat dengan wilayah Desain maka akan terasa semakin jauh dengan seni murni, otomatis pola pikir Desain yang rasional-fungsional akan semakin kental. Sebaliknya semakin dekat dengan wilayah seni murni, maka semakin besar pula intesitas ekspresi estetiknya.