"Kota yang berwangi dupa" begitulah kira-kira pengalaman pertamaku ketika menginjakan telapak kaki dikotanya para Dewa ini..yach,semacam aroma yang begitu mistis menyelimuti penciumanku. Itu beda dengan bau rumput, istilah sabana tanpa oase diTimur dari Negeri ini. Dan tujuanku untuk datang dipulau yang indah ini cuma satu, yaitu mencari air seni, sebuah air yang bukan berasal dari kantung kemihku sendiri, tetapi airnya seni dari sekelumit goresan kreativitas yang mungkin bisa memberikanku kepuasan sedikit saja. Dan lewat berbagai birokrasi yang sudah menjadi cara kerja disetiap Institusi di Negeri ini, akupun hidup dan mulai mendewasakan diri di kampus tercintaku yang pada saat itu masih bersetatus sebagai Sekolah Tinggi Seni..aku tertantang untuk maju..ah!! mudah saja pikirku.
Kian hari,kian waktu..seiring berjalannya menit detik bertalu, aku semakin sadar bahwa jalan yang aku lalui ini begitu berat. Jujur..aku bukan tercipta dari kamar-kamar kotamu..aku terbentuk bukan dari gapaian asmara tulang belulangmu..dan aku adalah embun tanah gersang yang diam diNegeri ini pada pengasingan sebuah cita-cita.
Ada semacam rasa yang mengalun ketika aku harus bersaing dengan teman-teman dari tanah ini , yang begitu fasih memainkan ekspresinya..ada semacam perasaan rendah diri ketika memandang pada puncak cita-citaku. Akhirnya aku dididik menjadi liar, meskipun tak sempat menjadi liarrr..hehe..liar dengan diriku dalam menjelajahi rasa seniku.
Dan setiap saat, ibarat seorang penabuh yang menabuhi gamelannya, akupun memercikan dentangan nada sejuta warna..akupun mulai menekuni pahat-pahatku yang belum menjadi apa-apa..yach, ibarat sebuah papan, sebuah batu, yang belum menjadi puncak sebuah mehru. Ketika aku mulai dihadapkan pada orang-orang yang mencintai ke egoan seni, pasti ada yang nyeletuk, "karya apa nee??"..atau "apa yang kau buat Ri??" kata-kata nyelidik, sinis seperti ujung bedil yang menunjuk-nunjuk mata bathinku..yach, kira-kira begitu.Pada hal seharusnya seni dapat memperhalus budi..memperhalus rasa, tetapi kenyataannya?? Begitu keraskah keegoan seni yang aku hadapi dari orang-orang disekitarku, sepertinya karyaku ingin diludahi, dinjak-injak seperti sampah.
"Aku hanyalah aku, ibarat ilalang yang belum menjadi tebu"..jawabku.
Oh yach, ingatanku pada sahabatku si Anton Dayak, yang senasip, seperjuangan yang berasal dari dunia fana, yang datang mengais-ngais seperti anjing lapar dikota ini dalam mencari sesuap kreativitas. Gara-gara gak kuat menabuh pahat dia harus cabut, lalu nyungsep kepengkajian. Si Anton tuh orangnya sedikit pelit, kadang juga kelewat toleran..begitulah kira-kira jawaban dari sebagian sahabat-sahabatku dalam menilai orang yang satu ini.. maap Ton, becanda..
Sebuah kisah yang dapat dicari akan pentingnya arti sebuah persahabatan, tapi itu tak penting Ton, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa meraih mimpi diatas sana, biar bisa bersalam-salam, senyum kanan-senyum kiri sambil menenteng ijazah dengan wajah sumringah karena bisa meraih sarjana. Pada hal dibelakang sono banyak nilai yang anjlok, ada juga yang ngatrol Ton..hehe..
"Ri..ngapain cepat-cepat tamat Ri??" nyelidik si Tuwong angkatan gila yang kelewat rasional dari Pojok Komunitas. "Ah..gak kayak lo, muter-muter melulu, ibarat pendaki yang muter-muter disekitar lereng gunung, yang gak bisa sampe kepuncak"..
"kan kaya pengalaman Ri, dari pada yu??"..tangkisnya.
Dan memang benar, hingga kini ia masih tersesat diseputaran gunung, kering..ibarat ilalang liar yang tumbuh dipunggung gunung..gunung lawu maksudnya..hehe..
Tapi aku salut..tak usah ditanya kalau ngomongin sepak terjang orang-orang ini yang merupakan binaan Komunitas Pojok yang terkenal dengan karya-karyanya yang liar, suka nyerempet-nyerempet bahaya istilahku. Yach, sekelumit dari si Tuwong, kadang suka nyentil, tapi juga nyentrik..kalau lagi ngerokok, piring makan sampe gelas kopi jadi asbak jahanamnya..haha..
Aku tidak surut aktifitasku, tiap pagi dan sore bergaya bak tukang bangunan, dari gergaji sampai pahat aku mulai menabuh. Ketika moodku mulai surut, tabuhanku mulai tak berarti lagi..dan aku terbangkan alat-alat perangku, kayu yang retak bukannya direkatkan lagi malah pecah berantakan..
"jangan ngamuk Ri" celoteh teman-teman sekostku. Sebagai pelampiasan aku cuek dengan ngurung diri, merajut benang-benang terkusutku, siapa tahu bisa menjadi barang antik yang bernilai biar bisa puaskan imajiku. Dan..ketika karya itu aku bawa dihadapan pengujiku, ada saja yang salah..tapi bagiku dalam menilai sebuah karya seni bukankah sangat relatif sifatnya??
Ah!! cuek saja..persetan dengan penilaianmu wahai penguasa. Sehingga dari semester nol sampai puncaknya cuma "B" melulu. Suatu angka yang tidak terlalu buruk untuk ku yang berasal dari dunia lain yang mengadu kreativitas di Institusi ini. Tapi ketika mulai diajak berpameran, aku cuman cengar-cengir melulu..jadi audiens ajah pikirku, sampai ada yang nyeletuk.."gimana mau jadi seniman kalau gak pernah berpameran??"
"malu, karya-karyaku jelek" bathinku penuh pesimis..
Dalam meniti proses, menjadikan ilalang sebagai tebu ada begitu banyak hal..dan segala hal..yang aku temui dipengasingan cita-citaku ini.
Kriya..yach, karya Kriya..begitu kusutkah Eksistensimu?? Mengapa dari luar terasa begitu manis, tetapi selalu sepat diisinya?? membingungkan memang..
Ketika dosen Suardana menjangkiti eksistensi kriya dengan nafas ekspresi, ternyata dosen Ketut Muka merasuki lagi dengan virus desain yang lebih kepada rasio-fungsional. Belum lagi ocehan yang datang dari teman-teman jurusan seni murni, "karya kriya gak bisa digolongkan dalam karya seni Ri..gantung ajah pahatmu..mulailah melukis"..
Duh..gejala apakah ini?? terkesan kacau, kusut..tapi tak sampai mematahkan semangat seangkatan seperjuangan termasuk aku. Smuanya seperti tertantang dan teruskan perjuangan ini.
Belum lagi seabrek pengalaman lain yang aku terima dari kriya yang aku geluti ini.." masa seh?? karya kriya seperti patung??..bukankah karya kriya wujudnya dua dimensi?? kog tiga seh??"
Mau tiga..empat..lima, dalam segala hal kalau ngomongin seni sudah gak ada batasannya kawan. Seni kriya bisa kepatung, kriya bisa kelukis..malah bisa ketari. Sedikit membual, mengutip pendapat para pakar seni yang selalu membahas seni diera Pasca Moderen ini yang lebih pada sebagai yang anti kemapanan..tangkisku berapi-api.
Mamang ruwet bagi masyarakat kriya seperti aku ini, yang selalu bingung dengan cita-citanya. Apalagi kata Pak Muka, dalam sebuah tulisan yang pernah dimuat dalam sebuah media, bahwa Mahasiswa Kriya yang sudah keluar dari lembaga ini terasa tidak berkembang dan berhenti begitu saja dalam berkarya..tidak berkembang dalam menerapkan keilmuannya yang telah didapat dari Institusi ini. Gimana bidang ini mau maju?? pungkasnya.
Tanggapanpun muncul seputar pernyataan Pak Muka tadi, seperti yang datang dari seorang Alumnus Kriya semisal Seriyoga Parta. Yogaparta pun memberikan semacam pengklaiman, bahwa maju dan mundurnya bidang ini adalah tidak lepas juga dari tanggung jawab kita bersama, dan justru seorang pendidiklah yang lebih bertanggung jawab dalam hal ini. Bukannya malah memberikan semacam asumsi yang malah makin menjatuhkan otoritas kriya ke dalam jurang keparahan. Yogapartapun kembali mempertanyakan lebih pada Kurikulum pengajaran Kriya di Institusi ini..yach,seperti ilalang yang belum menjadi tebu..aku salut ma Bung Yoga.
Larut dalam keilmuanku, sampai-sampai aku tak memikirkan keadaanku, bahwa sebenarnya jauh didalam sana aku mengidap sebuah penyakit..penyakit kronis yang menyerang kesehatan paru-paruku. Aku terkena Tuberculossis, istilah keren kedokteran atau sebagai TBC. Penyakit yang mematikan..disela-sela bibirku kadang aku berseru..atau teruskan pendidikan yang nelangsa ini??
Aku semakin tak berdaya, lalu diam..pulang pada tanah gersangku yang jauh berbatu-batu, menjadi embun tanah gersang yang kehilangan makna, dan diam setahun lamanya menunggu kesembuhanku.
Yach..Tuhan masih menolongku, Ia masih menghidupi aku lagi, "Trimakasih Bapa.." jeritku dengan tangan terbuka disetiap Doa-doaku.
Di akhir kesembuhanku,aku balik..kembali menaikan layar perjuangan dan bertolak menuju pulau cita-cita.
Kembali meniti tabuhanku dan mulai memahat lagi. Ada dosen Suparta yang selalu memberikan semangat, bagai setetes minyak yang menyalakan Dian, "tetap Optimis..jangan Pesimis, kamu pasti bisa"
Benar saja dan aku mulai kuatkan keberanian menuju akhir senja.
Disela-sela aktifitasku dalam menjunjung seni aku masih bisa menyaksikan spanduk Revolisi, bernyanyi dalam mendobrak kediktaktoran diInstitusi ini.
Yach..revolisi yang katanya berperan dalam mendobrak tirani itu?? tirani yang katanya telah kehilangan rasa itu?? rasa Demokrasi mungkin??
Ah!! aku tak mau terkena peluru nyasar, pikiranku hanya pada perjuangan yang tinggal selangkah itu.
Dan dengan suport yang datang dari dosen Suparta, akhirnya dihadapan para penguji, aku diadili dalam sidang sarjana.
Sungguh!! pengalaman yang mendebarkan..tapi keok juga setelah dibabat oleh dosen Suardina pada akhir ujian itu.."Saudara!! jujur, saya sama sekali belum sedikitpun membaca pertanggung jawaban karya yang saudara buat. Semua yang kita arahkan dalam bimbingan belum sedikitpun diikuti oleh saudara" dan masih ada satu, dua, tiga, empat, lima dan sepuluh hal lain yang dibrondong, ibarat rentetan tembakan senjata jenis kaliber..haha..dan seperti halilintar menyambar-nyambar pendengaranku. Aku keluar tertunduk lesu pada perut bumi, ada setetes duka menyumbat kepala. Sebegini burukah penilaian diakhir perjuanganku?? rintihku lirih..
Tapi tak apalah..aku tetap berterima kasih pada dosen yang satu ini, karena ada sejuta pengalaman yang dapat aku petik disetiap cambukannya yang keras.
Akhirnya kawan..aku dapat meraih impianku,bak seorang pragawan yang berjalan diatas cat-walk, aku resmi mendapat gelar kesarjanaanku. Akupun harus senyum sana-senyum sini..senyum yang dipolesi dengan sedikit kepalsuan ..hehe..salam sana-salam sini, dengan toga hitam yang dihiasi tali-temali seperti tali kompor..berayun-ayun seperti jam bandul zaman Rokoko yang telah dijamah Sang Rektor barusan.
...Yach, ibarat ilalang yang telah menjadi tebu, tapi belum menjadi kristal-kristal gula yang nikmat untuk hidupku kelak..haha lagi..
Salamku buat teman-temanku, alumnus angkatan 2002.
(The End)