02 Agustus 2009

Sebuah Kritik: Membaca Pemikiran Nyoman Gunarsa dalam konsep berkarya Seni Lukis

Pendahuluan;
Istilah tradisi di indonesia adalah pengungkapan kesenian dalam bentuk yang beragam seperti seni-seni primitif, tetapi juga seni yang bernuansakan religi hindu, budha atau islam yang mempunyai ciri dan kekhasan yang sama yaitu berumur lebih dari seratus tahun, yang kokoh, konserfatif, dan kumpulan seni ini sering disebut sebagai seni tradisional. Seni Tradisional sifatnya tetap, tak berubah, berasal dari daerah dan mengacu kepada masa lalu, sementara seni moderen yang senantiasa selalu berubah, bebas, lepas dari pakem-pakem yang datangnya dari luar malah membaur membntuk suatu citra percampuran antar tradisi-moderen, yang keduanya semakin dipertajam dalam nafas kontemporernya yang sesuai dangan roh kehidupan dan sesuai dengan jiwa zamannya. Maka seni rupa modern di Indonesia kalu bisa disebutkan adalah "pencangkokan" tradisi-moderen didalam perkembangannya seperti yang dapat dilihat pada karya Nyoman Gunarsa.

Secara naluriah gambaran yang muncul pada setiap pencangkokan seni rupa moderen Indonesia adalah tak dapat lepas dari konsep dan ide-ide yang mapan dalam melahirkan nafas pembaharuannya, sehingga tidak salah bila pada seniman-seniman kini ada asumsi yang mengatakan bahwa,jika kita ingin mengubah impian masa lalu kita.."kunjungilah paris", dalam artian semakin giat kita membuka diri kita dengan seni-seni yang berkembang diluar diri kita yang tak ada batasannya, maka kita akan memetik segudang pengalaman lewat ketajaman rasio dalam membentuk "mood" dan menghasilkan ide atau konsep yang kreatif dan fariatif, kritis dan analitis serta ditunjang dengan gaya garapan yang kreatif.

Dalam menilik karya seni yang berbasis pada pembaharuan, sebenarnya kita dapat membedakan pada dua segi pengenalannya, yaitu segi kerativitas dan pada segi kekritisan. Dalam membentuk suatu citra karya seni yang unggul kesemuanya tidak terlepas dari kedua pokok persoalan itu, sebab kreativitas adalah syarat mutlak yang masih dituntut oleh seni moderen yang bahkan merupakan ciri khasnya. Menurut Albert Camus, syarat utama kreativitas adalah memiliki kebebasan, selalu melakukan komunikasi dan yang terakhir adalah dituntutnya keberanian, karena menurutnya keberanian adalah suatu sikap pemberontakan yang kreatif. Lantas sampai sejauh manakah pemberontakan yang kreatif dalam melihat karya-karya Nyoman Gunarsa?? Dimanakah ide-ide kekritisannya dalam melahirkan konsep yang menggugah?? Sejauh manakah eksistensi para seniman-seniman besar kita dalam melihat gejolak sosial dan politik yang bergerak dimasyarakat kita. Bukankah dengan kekritisan dapat atau semakin mempertajam kedudukan kita sebagai seniman dalam menduduki peringkat puncak untuk mendobrak hegemoni masyarakat yang penuh dengan ketimpangan-ketimpangan moral atau melucuti kostum-kostum, kedok-kedok, simbol-simbil status negara dan politik?? Coba kita tilik lagi, sudah berapa banyakah seniman-seniman besar kita yang bergerak dalam kesenirupaan kita yang memakai kekritisannya?? Mungkin kalau tidak salah bila para seniman-seniman besar kita dalam berkarya lebih mengaktualisasikan hanya pada gaya garapannya yang rumit, dengan didukung oleh teknik-teknik yang menarik, yang baru, tetapi belum merambah kepada muatan-muatan kritis dan politis. Malah ada yang hanya merupakan sebuah pemandangan alam saja, yang dikuasi, lalu ditopengi dengan teknik garapan yang katanya eksotik, nyentrik dll.

Menyimak dari persoalan itu yang berbasis pada sub kreatif dan tindakan kritis, maka apa salahnya kita coba mengkaji sampai sejauh manakah peran kekritisan ide dari Nyoman Gunarsa dalam menelorkan sejumlah karya dengan menyorotoi peran analitis-kritis dalam melihat gejolak sosial dan politik yang berlangsung dimasyarakat. Sebab cakupan gaya atau aliran dalam seni lukis moderen selalu berbicara tentang apa itu kreativitas dan produktivitas pelukisnya dan sama sekali belum merambah kepada sistem yang berbasis pada ide dan konsep yang lebih mendobrak!!.


Karya-karya Nyoman Gunarsa;
Dari sekian banyaknya seniman lukis moderen di Indonesia dewasa ini, Nyoman Gunarsa adalah salah satu diantaranya yang tetap manjadikan sketsa sebagai kegiatan yang tak dipisahkan dari hidup kesehariannya. Bahkan lebih jauh sketsa telah menentukan corak berkeseniannya sampai menjadi seorang seniman yang berkibar dipanggung seni lukis Nasional dan Internasional. Bentuk sketsa yang amat menarik bagi Nyoman Gunarsa didalam penciptaan karya-karyanya adalah sketsa tentang manusia dan lingkungan, sketsa sesaji dan sketsa wayang/aringgit.

Berkenaan dengan bentuk sketsanya yang pertama yaitu yang bertemakan tentang manusia dan lingkungan, maka ciri utama yang dapat ditangkap adalah dinamika masing-masing garis dan warna yang tak menjemukan..kadang-kadang dalam sapuan garis besar, sedangkan yang lain secara lebih lengkap diwujudkan dengan garis-garis yang lebih kecil membentuk kandungan objek yang diinginkan. Demikian halnya dalam pengungkapan ekspresi atau penggambaran bentuk wayang, babi, ayam, kuda, dapat diurai dalam garis dan arsiran minimal yang bebas dan tak serba sama. Motif atau gambaran manusia sebagai hasil menyeketnya dari kehidupan nyata akan berbeda dengan hasil sketsa manusia dari relief atau pura. Kedua hasil menunjukan suasana, kejiwaan, proporsi maupun ekspresi yang berbeda jelas. Disamping itu Nyoman Gunarsa mampu menyeket hasil pahatan karya seni menurut gayanya serta membuat sketsa manusia dari imajinasinya tanpa model. Setelah merasa cukup menguasai bentuk sketsa tentang kehidupan nyata, Nyoman Gunarsa mengalihkan perhatiannya pada motif khusus dengan aspek budaya, maka ia tertarik untuk mempelajari ekspresi dari susunan bentuk sesaji.

Sesaji dengan segala perlengkapannya itu, dilihatnya dengan dua sikap pendekatan. Pertama, dalam kaitannya dengan nilai-nilai ritual yang menimbulkan rasa haru yang dalam serta hormat kepada nilainya sebagai bentuk pengabdian kepercayaan. Kedua, ia melihat bentuk sesaji itu sendiri sebagai penampilan estetis yang berbeda dan unik, seperti bentuk sesaji keseharian yang paling sederhana dan esensial sampai bentuk sesaji persembahan untuk para dewa-dewi. Bentuk-bentuk sesaji ini diolah Nyoman Gunarsa menjadi ekspresi karya seni lukis dalam garis-garis bebas sketsa.

Terakhir adalah sketsa Nyoman Gunarsa yang berbentuk wayang/aringgit, menurutnya seni wayang menempati kedudukan yang setral sebagai ajaran filosofis, perwatakan, maupun sebagai pendidikan estetik. Sebagai pelukis masa kini, Nyoman Gunarsa bersifat individiual, kreatif eksperimental.Lewat kreasinya ia hidupkan ide wayang klasik sebagai motif atau tema seni lukis moderen Indonesia dengan cara menyeket wayangnya secara spontan, dengan keteptan proporsi maupun dengan perubahan bentuk yang dikehendaki secara sadar.

Pada umumnya sketsa yang digariskan oleh Nyoman Gunarsa mempunyai spontanitas yang tinggi, mempunyai getaran ekspresi. Didalam setiap pelukisannya gerak garis menjadi sangat penting, itulah sebabnya mengapa lukisan cat air baginya merupakan medium yang sempurna. Hanya seorang pelukis yang mempunyai keahlian teknis dengan kecerahan dan kebebasan tersebut mempertunjukan landskap, manusia dan suasananya yang cemerlang. Karya-karyanya memancarkan kesegaran yang penuh dengan hasrat, bahkan bahasa warnanya mengkspresikan pengalaman pelukis ini yang memiliki satu temprament bergejolak direfleksikan dengan emosi yang bekilauan dengan warna-warna yang meriah. Nyoman Gunarsa dalam aktifitasnya sebagai pelukis dituangkan dalam beberapa periode,yaitu periode akademis, periode abstrak, periode wayang serta tari yang digeluti kurang lebih empat puluh tahun. Kini Nyoman Gunarsa mencantumkan periodenya yang terakhir yaitu periode "moksa" pada tahun 1998. Moksa bagi dia adalah konsekuensi akhir dari aktifitas hidupnya sebagai pelukis. Banyak karya-karya terbarunya yang terakhir ini sengaja tidak diwarnai melainkan hitam-putihnya saja.

Sketsa dalam lukisan Nyoman Gunarsa adalah ungkapan yang paling esensial dan berfungsi sebagai media dalam proses kreatif dan sekaligus utuh sebagai sebuah karya seni. Nenek moyang kita pada zaman dahulu membuat sketsa-sketsa didinding gua dan sketsa inilah oleh para ilmuwan dianalisa untuk membuka tabir kegelapan tentang keadaan zaman ribuan tahun yang lalu, sama halnya dengan mengamati lukisan Nyoman Gunarsa yang mengandung kedalaman bentuk visual seperti garis, warna, tekstur, bentuk dan ruang, maka kita akan cepat menangkap makna apa dari perwujudan visual tsb. Maka kesimpulan yang dapat kita tarik dari objek pelukisan Nyoman Gunarsa adalah kecerahan dunia fantastiknya yang mengandung kekuatan niskala yang sifatnya magis, mempunyai tempramen bergejolak, penuh emosi yang didekatkan pada roh atau taksu Bali itu sendiri. Semuanya dibubuhi dengan kemampuan garis dan warna yang terbilang eksotis dan romantis. Memang Gunarsa adalah pelopor pelukis Bali masa kini yang telah membebaskan dirinya dari tradisi tanpa menghilangkan roh atau taksu Bali itu sendiri, karena baginya seni adalah sebagai sesuatu yang religius, suatu tempat dimana seseorang barangkali memperoleh cara yang benar, yang pernah lama hilang dari kehidupannya. Selain itu seni harus memiliki bobot, ekspresi indah, menciptakan nilai-nilai baru dan bukan merusak nilai-nilai yang sudah ada.


Pembahasan;
Melihat dari pemikirannya tersebut, disini patut dipertanyakan lagi..apakah seni hanya berurusan dengan nilai keindahan saja?? Apakah seni yang dikejar hanya untuk menghipnotis masa dengan tawaran-tawaran keindahan yang mampu memberikan kedamaian..dimanakah ketidak aturan itu yang memang ada bentuknya didepan mata kita?? yang semakin dengan angkuhnya merobek nurani kita!! Sebab pada hematnya, menurut Hebert Read; seni tidak selamanya identik dengan keindahan, seni tidak selamanya selalu menyenangkan atau selamanya indah tetapi yang terpenting dapat menggugah perasaan seseorang, sebab seni pada jaman moderen ini telah menjadi sebuah alat komunikasi terhadap masalah sosial, politik dll. Apakah hanya didunia baratkah gejala-gejala serupa kelihatan??

Sifat umum dewasa ini yang sering tampak dalam kesenian barat antara lain adalah usaha untuk menimbulkan "efek Shock", memperlihatkan rasa frustrasi dan kejemuan yang dirasakan oleh para seniman dan sebagian masyarakat. Shock sama dengan menggoncangkan yang dulu dianggap mapan dan stabil, melemparkan batu kekaca-kaca yang melindungi harta-harta nilai tradisional, dengan sengaja menertawakan dan mencemoohkan apa yang oleh angkatan-angkatan dulu yang dianggap suci dan keramat, memberontak terhadap tata tertib yang dulu tak pernah diragu-ragukan serta membubuhkan tanda tanya dibelakang setiap pernyataan dan ucapan. Ini merupakan kekurangan yang sedikitnya dirasakan pada saat ini dalam menapaki seni rupa Indonesia pada umumnya. Sebab terasa ada kemandekan sikap kritis dari sebagian seniman-seniman besar kita. Apakah kekritisan hanyalah merupakan milik seniman kecil, pinggiran, yang menjadikannya sebagai alat katrol dalam mempromosikan dirinya untuk menempati kedudukan yang lebih terhormat.

Pada hematnya, kritis adalah suatu usaha mental untuk memperoleh suatu gagasan, ide, konsep yang menarik, menggugah perasaan atau suatu usaha untuk memikirkan apakah ada sejumlah jawaban untuk suatu persoalan tertentu. Kenyataan menunjukan bahwa beberapa seniman tertentu sering bersifat lebih kritis dalam pencetusan ide-idenya dengan dikondisikan dengan situasi disekitarnya. Sementara orang lainnya mungkin lebih kreatif, produktif, dengan gaya pengaktualisasiannya dari pada bersikap kritis. Tetapi akan lebih manarik lagi kalau kedua hal itu berjalan dalam satu bingkai yang sama, maka tawarannnya pasti lebih menggugah, idealis,dll. Memang benar bila ada pendapat yang mengatakan bahwa, lukisan Nyoman Gunarsa telah melepaskan dirinya dari jiwa zamannya, dia adalah pelopor pelukis Bali masa kini yang telah membebaskan diri dari ikatan tradisi tanpa menghilangkan roh atau taksu Bali itu sendiri. Saya sangat setuju dengan pendapat tersebut, tetapi yang perlu dipertanyakan lagi; Apakah bedanya Taksu Bali dengan Tradisi Bali?? Apakah benar konsep dan gaya pelukisan Nyoman Gunarsa sudah membebaskan diri dari ikon-ikon tradisi?? Secara lokalitas pendapat tersebut memang dibenarkan, akan tetapi kalau dikaji dalam pandangan seni rupa dunia, bagi saya pendapat tersebut belum tentu dibenarkan.

Sebagai akhir dari kritikan ini, mungkin dapat dicari jawaban-jawaban, mengapa eksistensi Nyoman Gunarsa sebagai pelukis Bali masa kini tidak merasa terdorong untuk memprofokasi dengan "seni kritik" (critical art), karena mungkin seni baginya adalah suatu prefleksian, atau suatu kerinduan terhadap dunia yang ideal, yang sudah lama hilang, yang diejek, yang ada dibelakang berbagai hal, yang dapat menemukan makna-makna yang lebih dalam untuk pemuasan bathinnya. Kitapun juga harus mengakui, walaupun eksistensi Nyoman Gunarsa sebagai pelukis belum merambah kedunia seni kritik, tapi bagaimanapun juga setiap karya-karya Nyoman Gunarsa telah memberikan masukan-masukan yang berarti bagi perkembangan seni lukis Bali moderen masa kini dan pada masa yang akan datang, didalam menghidupkan nafas seni rupa Bali menuju era pembebasan. TAMAT