10 Agustus 2009

Membaca Nilai-nilai Filosofis dari motif Karang Gajah

Didalam kamus Bali-Indonesia telah dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan Karang Gajah adalah ragam hias yang berbentuk (berpolakan) kepala gajah yang belalainya melengkung kebawah. Karang gajah disebut juga atau diistilahkan juga sebagai Karang Asti, tambahan lagi menurut pengertian ini Karang Asti adalah ragam hias yang berbentuk kepala gajah yang belalainya mencuat keatas. (Kamus Bali-Indonesia,1978;269). Walaupun mengandung pengertian yang agak berbeda, tetapi bentuk atau jenis kekarangan ini adalah gajah pada umumnya.

Motif hiasan ini biasanya terdapat atau diterapkan pada pojok bangunan sebagai hiasan pada bagian dasar bangunan yang sering kita temui dalam bangunan-bangunan berstail Bali.

Sedangkan menurut Nyoman Glebet dalam Arsitektur Tradisional Bali disebut pula Karang Gajah karena asti adalah gajah. Bentuknya mengambil bentuk gajah yang diabstrakan sesuai dengan seni hias yang diekspresikan dalam bentuk kekarangan. Karang Asti yang melukiskan kepala gajah dengan belalai dan taring gadingnya bermata bulat. Hiasan flora pada patra punggel melengkapi kearah sisi pipi Asti. Karang Asti ditempatkan sebagai hiasan pada sudut-sudut beraturan dibagian bawah pada sebuah bangunan. (Arsitektur Tradisional Bali, 2002;360)

Secara umum dalam penempatan ornamen Karang Gajah, biasanya ditempatkan pada begian bawah sebuah bangunan. Salah satu contoh bangunan yang biasa diberi dengan motif ornamen ini adalah tempat pemujaan atau bangunan pura hindu di Bali. Fisik bangunan tempat pemujaan terdiri dari bagian kepala, badan dan kaki dengan unsur-unsur ornamen antara lain; Karang asti pada bagian kaki/bawah, karang simbar dan karang bunga dibagian tengah, dan karang goak atau manuk (motif kepala gagak atau ayam) dibagian atas atau pada puncak bangunan. Dipilihnya Karang Gajah atau Asti yang ditempatkan pada bagian bawah dari sebuah bangunan, karena jenis binatang ini biasanya hidup ditanah. Didalam ilmu Zoologi binatang gajah adalah sisa binatang purba yang hampir berada diambang kepunahannya. Jenis binatang ini sering dipakai manusia dalam membantu usahanya, biasanya kekuatan fisik yang sering dipakai adalah untuk diandalkannya sebagai sarana transportasi, bahkan dibeberapa daerah tertentu masih mengandalkan jenis binatang ini sebagai tenaga untuk membuka hutan dalam membuat perladangan baru.

Dalam ilmu Arsitektur dijelaskan bahwa kekuatan atau kekokohan sebuah bangunan ditentukan pula sampai sejauh manakah kekuatan dasar atau fundamen yang dibangunnya, tentu kekuatan ini harus dibarengi pula dengan struktur fondasi yang kuat. Nenek moyang bangsa kita dalam melahirkan sebuah monumen pemujaan tentu memperhatikan betul keadaan ini dan hal ini pulalah yang melahirkan sistem Arsitektur tanah air kita yang terkenal kuat. Pengejawantahan dari hal ini secara otomatis melahirkan angan-angan atau pencitraan dari kekuatan alam lain yang bisa menolong kedaan rohaniahnya, sehingga munculah suatu kepercayaan bahwa semua alam, benda, termasuk binatang tertentu juga mempunyai kesaktian yang tinggi yang mampu melindungi keberadaan manusia, tempat tinggalnya termasuk bangunan-bangunannya. Jadi tidaklah mengherankan jika gajah atau jenis binatang ini diolah menjadi jenis kekarangan dan dipilih sebagai penghias dasar pada sebuah bangunan.

Maksud dipilihnya karang gajah sebagai hiasan pada bagian bebatuan dibagian dasar bangunan adalah karena gajah mempunyai kekuatan fisik yang tinggi, ia mampu mengokohkan keutuhan bangunan dengan kekuatan otot badannya. Dalam cerita pewayangan dijelaskan juga bahwa gajah dilambangkan juga sebagai Dewa yang mempunyai sifat pandai, bijaksana, dan bersikap hati-hati dalam segala usahanya. Ia dikenal dengan berbagai nama, seperti Gajanana, Gajawadana, Gajawadana Karimuka (berwajah gajah) dan Lambakara (berkuping Gajah) dan kesemuanya itu bisa terlihat dalam sosok Genesha.

Dipilihnya gajah/Asti diartikan pula sebagai wahana komunikatif manusia dengan alam lingkungan, sebagai perwujudan Tri Hita Karana artinya kelestarian lingkungan harus tetap dijaga keasliannya. Disini memuat arti penting bahwa peran lingkungan dalam hal ini gajah sangat penting bagi kesejahteraan hidup manusia. Sisi komunikatif lain yang perlu diambil pemaknaannya adalah, gajah juga disebut dengan Asti yang berati pula Asta berati Delapan. Angka-angka yang dilukiskan yang berarti arah dimuka bumi yang berjumlah delapan, dimana kedelapan arah yang dimaksud adalah delapan mata arah angin; utara, timur, tenggara, selatan, barat daya, barat dan barat laut. Hal ini menandakan munculnya rejeki manusia yang ditentukan juga dengan kedelapan mata arah angin tersebut.

Disamping yang telah disebutkan itu, karang gajah juga dijadikan sebagai wahan keindahan, penempatan jenis hiasan ini biasanya menonojolkan keindahan sebagai suatu karya seni yang adi luhung, baik yang disempurnakan atau yang diabstrakan sehingga menghasilkan gajah yang bermata bulat dengan deretan gigi yang rata. Dalam variasi penampilannya biasanya hanya mementingkan nilai keindahan dari komposisi ekspresi dan keserasian, biasanya jenis kekarangan ini menampilkan sikap agung mempesona, sebagai pencerminan masyarakat yang berjiwa besar dan berwibawa.

Dalam hubungannya sebagai wahana edukatif, gajah juga mewakili diri sebagai simbol-simbol yang mengandung muatan filosofis yang dapat dijadikan landasan atau jalan pemikiran manusia, seperti simbol Genesha sebagai Dewa pendidikan, sastra, dan penyebar ilmu pengetahuan, sehingga jangan salah jika ia dipuja oleh ahli pendidikan dan para penulis Hindu bila hendak membuat naskah karangan atau sebuah buku.

Konsepsi gajah dalam dataran ritual juga dipercaya sebagai pelindung seperti yang ditemui pada masyarakat tertentu, contohnya yang dapat dilihat pada masyarakat Jawa dan Bali. Nenek moyang bangsa kita sejak dulu percaya akan adanya nilai-nilai simbolik yang terkandung dari penggambaran kedok, patung atau nilai ornamen lain. Secara simbolik bentuk gajah atau motif gajah merupakan binatang tunggangan para ksatria dan biasanya ditempatkan pada pintu gerbang paling depan pada sebuah bangunan suci sebagi penjaga. DiJawa Timur, patung gajah atau arca genesha biasanya ditempatkan didekat penyebrangan sungai atau jurang yang dianggap berbahaya. Diduga arca yang ditempatkan disitu dimaksudkan untuk menolak bala atau malapetaka (Ensiklopedi Nasional Indonesia,2004;49).

Petikan lain yang dapat diangkat dari motif kekarangan ini adalah adanya kepercayaan pada masyarakat Bali yang mengetengahkan bentuk penyatuan antar hidup dan kehidupan dari makhluk hidup dengan tanah atau bumi, jadinya lebih cocok kalau jenis kekarangan ini ditempatkan pada alas pura/bangunan suci sebagai bentuk penyatuan dengan tanah atau pertiwi sebagai pemberi kehidupan.