01 Agustus 2009

Ende "Puisi buat Sinta" Kenangan Lalu..



                   Erotis

Gerak rumbai perhiasan tari mu
Melingkari bagai pernak-pernik dewi persik
Kadang terbias kerlap-kerlip
Secantik kulit muda dara perawan mu

Diatas kanfas gerak
Terdongak tinggi liar pinggul muda mu
Hingga belahan gairah pada pantatmu
Terbaca panas seiring gema gamelan bertalu kencang

Lenggak-lenggok tubuh mekar aduhmu
Meninggi adrenalin pada setiap kelelakianku
Hingga aku gerah bagai pada pendakian
..dan terhempas memuncrat amarah jahanamku

Yah, kau dewi persik dewi-dewiku
Semua memandang rakus pada tubuhmu
Rapuh iman menjalar tak bermakna
Cuma ada dua ujung sepi..dua dilema
Mengumbar birahi atau bernada estetis??

Dan diatas kanfas gerak pikiranku
Masih membusung padat dua buah dada mangkal mu
Masih membekas hangat yang tak jua lapuk
Pada awan pikiran nakal,bagi pejantan seperti aku.

             Gawaian Kasmaran (buat Lis,Gadis Kelimutu Ku)

Hai sepenggal nama indah
Beraroma liar tapi segar
Secantik anggrek hutan ditimur
Dari balik gunungmu di daratan tanah gersang

Lihatlah jari-jariku
Aku tengah memujimu
Dengan gawaian-gawaian kasmaran
Diatas papan-papan batumu yang mulai roboh

Oh warna matamu
Bagai putih telagamu
Meneduhkan tulang-tulangku
Oleh bujuk gairah mudamu

Dan segerat tipis bibirmu
Seliar merah telagamu
Melumatkan sejengkal badan-badanku
Terbaring nikmat kita diatas bara

Tinggalah disini kau gunungku
Hijau usiamu seperti juga telagamu
Yang seakan tak pernah lepas membiru
Menyirami aku dengan gejolak cintamu

Oh kau yang terapiti lintah diatas rumput liarmu
Dengarlah dambaanku pada waktu dulu
Yang kurajut dalam satu dua nafasku
Agar engkau tahu aku tetap ingat kepadamu.                                           
                         Kesal

Meniti pagi beranjak petang
Mengandung gemuruh amarah melayang
Tinggalkan hati yang tenang lapang
Dengan dendam sepanjang badan

Kurangakai kesal pada untaian kata
Datang mencerca dendangkan sesal
Menyelubung awan menutup jiwa
Lalu keraskan pada dentuman pecah!!

Diatas puing-puing yang retak
Kurenung kepalkan tangan
Manahan rasa yang amat mendera
Lalu perlahan terbangkan kematian pada akalan sehat

Nurani merangkak berjalan
Lepaskan asa yang mengikat
Ku sujud pada kusut
Dan pada gumpalan hembusan kesal


                Stempelan Palsu Untuk Istri

Langkah-langkah malam diatas titian hidup
Menghadang sarang laba-laba terkusut
Menjaring tubuh-tubuh yang senang menggerayangi tubuh
Dengan cengkraman nafsu yang memburu pada kota ku

Melepaskan kemoralan yang terkatup apik
Lewat hentakan-hentakan riang diluar kulit
Lalu mendengus perang saraf diatas ranjang antik
Menggegerkan ruang sempit seperti gempa bumi

Memang..kelung gemerlap yang terasik buatan kota ini
Lebih membendung jakun aliran darah para lelaki
Sehingga seperti tubuh kalkun yang dicabuti bulu bulirnya
Mereka dendangkan kata perang-perang ranjang

Sampai mereka semua puas dan pulang
Menipu istri-istri mereka yang polos
Berlaku manja mengelabui pada pias-pias manis
Cilik-cilik kecil yang masih suci pada akalan bulus

Ah..lucunya manusia-manusia ini
Terbalik atas bawah hitam dan putih
Baik dan buruk subur dan bertambah abadi
Memetik kenikmatan hidup walau sedikit menutupnya
dengan stempelan palsu untuk istri dan cilik-cilik buatan asli..


               Mama

Ada rasa mencerna kata
Ku rajuti kainku berlubang
Hanya sendiri kuteliti kaitan benang hati
Melapisi luka-luka diperantauan ini

Tanpa mama sendu pilu kelabu
Aku yang diam pada pengasingan cita-cita
Bukan ceria pada cerita usang
Tapi tetes duka menyumbat kepala

Mama..
Serasa angan melepas kekusukan masa
Bila kuingat pada kemanjaanmu mama
Ingin kembali pada ribaan mu
Tak tahu apa yang dapat kupersembahkan

Mungkin sebuah candi
Sebuah mehru
Ataukah hanya sebongkah bata yang belum jadi
Ku bahagiakan untuk mu mama??

Mama..
Perjuangan anakmu belum usai
Masih kutoreh benang kusut pada dinding
Pahat-pahat pada arca
Lalu panil untuk mu mama..

Menggambarkan buaian aku pada peluk mu
Kasih seorang ibu yang lama aku rindukan
Bagai dulu di kanak-kanak ku
Bergelayut pada gendongan mu

Mama..
Ku kenakan lagi kain setelah kutambal usang
Masih tergambar lubang yang belum jadi
Memamerkan pada kenalan, sahabat, orang dekat
Sebagai bukti pahit getirku mama..

Belum sesempurna seperti aku dulu
Semasih didekat mu


          Emas Freeport

Segerombolan wajah-wajah hitam
Berdemo diatas surga
Negeri seribu dongeng dengan emas makanannya
Yang kini jadi santapan orang putih bersaku tebal

Tak lupa mereka bawa yal-yal
Disampingnya pentungan dan batu-batu cedera
Lalu mengoyahkan akal sehat
Dan tentara jadi korban

Di depan ladang emas freeport
Kami mencari hak atas kami
Sejahterakan kami
Sebab emasnya milik kami

Aku diam membaca koran pagi
Memang itu nasib kita anak negeri
Menelan pahit atas nama keserakahan
Dari wajah-wajah bermuka tebal

Wahai para penjilat kekayaan rakyat
Kembalikan gedung-gedung, jalan-jalan..
Rumah-rumah pada kotamu
Untuk gantikan emas yang kau bawa

Biar bisa menghidupi
Anak kami..
Istri kami..
Dan keluarga kami..

Yang tlah mati
Di papua ini..


            Guruku

Jasamu aku banggakan
Pemberi suluh di dalam kegelapan ku
Walau honormu kecil
Kau tak putus mengabdi

Tetapi..
guruku
Tadi di koran pagi
Ada berita duka yang sudah basi

Gadis "R"
Ditelanjangi dan digauli
Oleh guru "S"
Di kebun salak

Guruku..
Sore nanti akan aku bawakan
Krans bunga buat mu
Untuk jasamu dan moralmu yang mati!!


       Luka Satu Oktober (kenangan bom bali dua)

Secerah malam
Pada wajah mu
Kota ku
Yang berdaun rimbun

Sejenak para dewata
Riuh senyap melantunkan doa
Dan tergilaslah dentuman
Kotaku berwajah kusam

Ada apa jawablah!!
Kau kota ku
Sendu, pilu, kelabu
Terjerembab dan rapuh

Pasti ada tangan nista
Merobek kota ku
Dimanakah nurani mu
Jiwa laknat yang tak punya sesal

Mengapa kau taruh tangan mu
Hingga kota ku tak lagi rimbun
Bertengger ranting-ranting patah
Tergores luka di batang-batang ku


        Pada Pucuk Bunga Waru

Cahaya mata diriak awan
Bersanding senandung bias lama
Membelai rindangnya angan disenyap lapang
Menciptakan paduan aroma nuansa jelang

Pada pucuk bunga waru mu
Ada bisikan kalbu yang haru
Menarik manis gemaskan hati
Terciprat hasrat tak serupa kini

Ini rasa remajakan wajah
Pada pucuk bunga waru mu
Yang jatuh di atas rambut cinta kita
Kemudian lekang menggelar sejuta kata

Kita berbalas-balas rasa
Menghujani janji sedalam bumi
Sahajakan pasangan bai't berlapis-lapis
Lalu bergumul cinta yang amat jalang

Masa lalu pada pucuk bunga waru mu
Berlalu layu tergolek jauh
Terkatup, tertutup, pupus dan lusuh
Hilang lalu luruh tinggal labuhan ku


         Kau Camar Putih

Seperti camar putih engkau
Bermain ditengah lautan
Gemulai..lincah dan kau malu-malu
Dalam gerak tak berkata tapi punya rasa

Wahai kau camar putih
Apakah kau mendengar
Bisikan angin petang
Yang mengabarkan bahwa malam akan menerpa??

Wahai kau camar putih
Kapankah kau datang
Hinggap didahan-dahan ku
Dan kita akan bercerita
Tentang indahnya malam ini
                                                                                                                     Lumpur Pekat Lapindo                                                                                                     

Gemetar jari memeluk pena                                                                   Kau aku toreh dalam desah-desah risau ku
Memanggil sisi-sisi tergelapmu bencana
Menilik ranting patah dari ambisi
Pengeruk bumi berbuah petaka

Air matamu menghitam..sehitam nasibmu malang
Dan kau coba bercermin pada tanah lembab itu
Sebab sudah menjadi lumpur hitam di bawah jejak
Nian hari kian meninggi

Hati teriris bingung dimana pijakan mu
Tengelam dalam lumpur pekat lapindo
Berantaskan surga kecil mu dan ranjang empuk
Jadikan kuburan kelam tanpa nafas

Sidoarjo..sidoarjo..nasibmu malang
Berkalang pada kubangan hampa yang sepat
Lalu rasa panik mencari naungan kosong
Menyaksikan yang sia-sia menolong mu

Hingga petang merengkuh pada malam
Selalu kau sebut-sebuti mereka penguasa
Kapan hati mu kembalikan lapangnya dadaku sayang
Dengan surutnya luberan lumpur para jahanam!!


 


     Sindrum!!

Pada ranjang kreatif ku
Kadang beralaskan sindrum
Dibawahnya berkasur depresi
Atasnya berbantal stres

Salahkah aku berhenti mendaki
Bila virus itu melumpuhkan
Saraf pusat otak kiri
Dan tereliminasi

Atau benarkah terusi perjuangan
Tanpa ku hiraukan kuman itu
Seperti kudis liar
Menggerogoti kulit??

O sahabat..jangan bunuhi diri mu
Panjangkan akal dan hati
Biar kau pongah
Diatas ranjang kreasi mu

Atau jugakah kau
Seperti Curt Cobain
Di serang depresif
Dan menyalaklah revoler pada kepalanya??

Hingga terkuaslah lukisan darah
Pada tembok..pada lantai
Karena tak kuasa pada nasib
Dan pada sindrum mu


      Sabtu Subuh Yogyakarta

Ketika mimpi sedang berjalan
Saat-saat jiwa terlelap
Merangkak dalam dunia
Samar-samar subuh
Lalu rubuh tanah mengguncang bumi
Hancurkan sisakan
Taing-tiang rumah
Beton hitam..bata yang memerah
Darah!!
Mengubur sisa-sisa hidup..pada kematian
arwah berjalan..linglung
Dan tangis ketakutan
Menunjuk-nunjuk
Ayahnya, ibunya, kakaknya, adiknya
Yang Mati!!

Pagi dua tujuh bulan kelima
Bangunannya, tanahnya, gedungnya, rumahnya
Jadi debu..
Menyapa sendu embun pagi
Di tinggal keceriaan kemarin
Lalu sabtu subuh yogyakarta
Dua ribu enam
Lima ribu orang
Berkalang pada tanah

Menyisakan duka
Lagu sedih, pilu, kelabu
Yang ditinggalkan
Lapar..
Luka..
Kedinginan..
Lalu mati..
Menambah kerut luka duka dihati

Tuhan-Tuhan kami, lihatlah..
Ia tersedu hapusi tangisnya
Tanpa suara tinggal serak-serak lemah
Memeluk bangkai tubuh kecil anaknya
seperti kehilangan harapan ia berkata

Tuhan-Tuhan kami
Gapai-gapaian tangannya
Selalu pada cumbuan yang beku
Yang diam ditemani darah
Di dalam kasih seorang ayah..

Ya Tuhan ku..mengapa ini terjadi
Segudang duka mengantar jasad..
Ya Tuhanku..mengapa ini terjadi
Sebuah bencana memisahkan rasa..
Antara kasih seorang ayah, ibu, kakak, adik
Dan anaknya yang mati
Diantara puing tragedi
Sabtu subuh yogyakarta.


     Duniaku Hampa (kenangan RS.Sanglah)

Duniaku hilang sahabat ku
Sejak raga hampir menjauhi aku
Aku sesal tiada guna
Semua menjauhi kosonglah riangku

Duniaku hilang sahabat ku
Menapak detik waktuku lalu
Tiada guna berlagak pukau
Pada usaha tanpa makna ku

Duniaku duri dalam sepi
Merajut sakit tubuhku lengah
Hingga musnah langlang buana ku
Sampai jatuh kebawah bumi

Duniaku..duniaku hampa
Meniti usaha yang kosong
Tanpa buah yang meronah
Resah menyengat slamanya..


    Merah Mudah Kita

Rinai-rinai hujan yang putih
Menyeka kelam yang lama
Mengeluarkan harum pada ujung daun
Membentuk lengkungan pada senyum ku
Pada pesonaku dulu
Yang kagum pada peluk mu

Rinai-rinai hujan yang putih
Kini membasahi kertas
Menyebut nama itu
Lalu..gemakan nada jingga
Tebarkan asa
..dan bertanya
Adakah gerah mu
Buat tegarkan jenaka
Merah muda-merah muda kita??



    Kudapati Damai

Sepanjang malam tadi
Aku terdiam sepi
Anganku merangkak pergi
Mencari padamu diri

Pagi kini telah bersemi
Sesegar sekuncup melati
Merasuki sukma abadi
Dalam tatapan mu ku dapati damai

Jauhi aku petangmu nanti
Biar aku bebas meresapi
Akan arti senyummu kasih
Yang tengah bergejolak kini                                                                                                                                             Kau Camar Putih                                                                                                     
Seperti camar putih engkau
Bermain ditengah lautan
Gemulai..lincah dan kau malu-malu
Dalam gerak tak berkata tapi punya rasa
                                                                                                                       
Wahai kau camar putih
Apakah kau mendengar
Bisikan angin petang
Yang mengabarkan bahwa malam akan menerpa??

Wahai kau camar putih
Kapankah kau datang
Hinggap didahan-dahan ku
Dan kita akan bercerita
Tentang indahnya malam ini.