Kedua: Bagaimanakah memposisikan antara kriya dan kerajinan yang sekarang tampaknya masih dikotomi..yang serasa semakin samar membaur dan saling bertentangan.
Ketiga: Masyarakat kriya akademik masih begitu terkungkungnya dengan seni-seni masa lampau yang berlandaskan pada pakem-pakem tradisi, masih terbuainya dengan segala konsep seni adiluhung yang sangat kuat meresap dalam sanubari serta sulit untuk dimasak dan dikemas kembali dalam kostum baru yang selaras dan sesuai dengan jiwa zamannya.
Keempat: Kurangnya sikap membuka diri terhada peristiwa -peristiwa yang berlangsung dengan cepat diluar kampus. Apabila hal ini tidak diantisipasi secara cermat maka akan mendorong semakin renggangnya jarak pemisah antara dunia pendidikan dan lingkungannya. Sebab, suapan-suapan seni tradisional yang tidak terkontrol dan tidak diselaraskan dengan perkembangan zaman akan membentuk pribadi-pribadi yang terasing, terisolisasi, jika mereka harus terjun kekancah kehidupan sosial yang mendunia. Hal semacam itu tidak lebih dari membelenggu mereka dari kemerdekaan berkreasi yang tentunya akan berakibat fatalbagi tujuan pendidikan yang diharapkan.
Kelima: Rendahnya kritik terhadap seni kriya yang disebabkan oleh besarnya arogansi para kaum kritisi dan seni rupawan yang lebih mengetengahkan seni lukis dan seni patung dari pada seni kriya. Sebagai akibat dari ulah kaum kritisi yang demikian itu maka tingkat apresiasi masyarakat terhadap seni kriya terasa sangat terabaikan.
Keenam: Terdapat penolakan yang signifikan terhadap pola pikir Desain yang rasional-fungsional, sehingga perancangan kriya fungsional kurang berkembang. Menurut Tesis Pendidikan Kriya yang dikaji oleh Imam Buchori yang menjelaskan bahwa, apabila seni kriya semakin dekat dengan wilayah Desain maka akan terasa semakin jauh dengan seni murni, otomatis pola pikir Desain yang rasional-fungsional akan semakin kental. Sebaliknya semakin dekat dengan wilayah seni murni, maka semakin besar pula intesitas ekspresi estetiknya.